Senin, 23 Juni 2014

Berbicara Kemaritiman Membahas Indonesia



Memandang Nusantara Memahami Indonesia Dulu, Kini dan Esok[1]
Oleh:  Mochammad Baihaqi Al Chasan
Masyarakat Indonesia baru-baru atau mungkin juga sedang berlangsung, diingatkan kembali akan pentingnya sektor kemaritiman bagi eksistensi NKRI oleh para calon presiden, Prabowo dan Jokowi. Kedua calon orang nomor satu di Republik Indonesia ini sering meleparkan wacana-wacana kemaritiman pada saat debat capres maupun saat kampanye. Urgensi aspek kemaritiman yang dimaksud adalah, pentingnya NKRI memperhatikan soal kelautan lanataran dihubungkan dengan perannya sebagai poros maritime dunia. Bagi kalangan akademisi, terutama bidang sosial-humniora tentu telah menyadari bahwa sejarah nusantara telah membuktikan betapa letak strategis kepulauan nusantara, yakni terletak diantara dua benua serta dua samudra yang mengantarkan wilayah kepulauan ini menjadi kawasan perputaran budaya yang amat deras. Hal ini mengakibatkan terpengaruhi dinamika sosial-ekonomi yang terjadi di kawasan Asia Tenggara ini. 
Berbicara mengenai aspek kemaritiman wilayah Asia Tenggara, Indonesia yang kini menjadi negara kesatuan adalah bagian penting dalam bahasan ini. Sebagaimana yang disampaiakan pakar sejarah maritime Indonesia, A.B Lapian, bahwa Indonesia atau nusantara harus dipahami sebagai lautan yang menampung butir-butir kepulauan, bukan kepulauan yang dikelilingi lautan (A.B Lapian, 2011). Konsep ini jelas mengantarkan kita pada sebuah pemahaman (baru) dalam memahami arti negara kesatuan Indonesia. Pulau-pulau ini bersatu dalam satu papan lautan yang satu.
Pada kesempatan kali ini, penulis mencoba menggarisbawahi apa yang disampaiakan apakar sejarah maritime Indonesia ini dalam hal bagaimana memandang dan memahami Indonesia yang berpulau-pulau, beraneka budaya dan suku bangsa ini menjadi sebuah kesatuan yang utuh, yakni dalam bingkai sebuah negara kesatuan, dalam sebuah cara pandang yang berbeda. Penulis kali ini juga akan mencoba menguraiakan pandangannya dalam sebuah proyeksi kekinian, yakni tentang apa dan bagaimana memandang Indonesia dari sudut pandang kebaharian di era kini.
Sebagai tulisan tanggapan atas sebuah karya terdahulu, yakni temuan dan pandangan A.B Lapian dalam hal kemaritima di Indonesia, penulis akan memaparkan terlebih dahulu bagaimana awal mula sang pakar kemaritiman Indonesia ini melihat sebua permasalahan maritime. Pertama, studi sejarah Indonesia banyak didahului dengan analisa-analisa yang muncul dari kawasan daratan saja, sehingga seakan tidak ada sangkut-pautnya dengan dataran pulau satu dengan pulau lainnya yang dihubungkan oleh lautan tersebut. Dalam hal ini, penulis sependapat dengan A.B Lapian bahwa sejarah yang terfokus dalam aktifitas manusia di daratan ini mengabaikan sektor laut yang menjembatani aliran dinamika budaya yang ada.  Kedua, penulis juga sependapat bahwa pandangan A.B Lapian terhadap dinamika kemaritiman di nusantara tidak hanya dimainkan atau memainkan dinamika kehidupan manusia di daratan, melaian ada pihak lain yang tak kalah sentral perananya, yakni orang laut, bajak laut dan raja laut.
Dua poin penting yang disorot penulis di atas adalah sebuah kegelisahan yang mengantarkan lebih jauh tentang bagaimana memahami dunia maritim sebagai bagian yang tak terpisahkan dengan dunia dataran dalam memandang serta memahami Indonesia sebagai negara kesatuan kini. Penulis mendapati adanya sebuah simpulan besar atas kemaritiman Indonesia berdasarkan analisa historisnya, yakni peran laut bukan hanya wilayah “diam” melainkan justru wilayah yang banyak menyumbangkan “keramaian”. Lautan tak hanya dipahami dalam aspek geografis, yakni meliputi segala kekayaan hayati dan non-hayati di dalamnya, melainkan dinamika kehidupan manusia di atas dan di sekitarnya. Indonesia adalah sebuah bangun yang sudut-sudutnya mempunyai konkruenitas dengan wilayah lautannya.
Argumentasi di atas, diperkuat dengan paparan bukti oleh A.B Lapian yang berasal dari fakta-fakta atau temuan-temuan dari penelitian ilmu sosial-humniora, terutama bidang sejarah dan bahasa (lingusitik). Dalam hal ini, A.B Lapian menyadari bahwa buti yang ditawarkan bukanlah hal yang menakjubkan sehingga banyak menyita pengaruh atau berubahan yang signifikan, namun setidaknya didapati sebuah signal positif bahwa dugaan besar telah terjadi dinamika arus budaya dari wilayah timur ke barat dimana aspek maritime sangatlah berperan. A.B Lapian menegaskan pula bahwa zaman ini buka hanya sekedar era perdagangan melainkan sebuah masa dimana arus persinggungan maupun pertukaran budaya sangatlah kuat.  Kurang-lebih begitulah pandangan A.B Lapian dalam buku bunga rampai, “Ilmu Pengetahuan Budaya dan Tanggung Jawabnya”.
Selebihnya, pada buku “Orang Laut, Bajak Laut, Raja Laut”, Lapian lebih banyak memporsikan penelitiannya pada siapakah pihak-pihak “pemain” di dunia laut itu. Lebih tepatnya, Lapian menjelaskan secara gambling bagaimana kehidupan sosial kemaritiman di kawasan laut Sulawesi pada kisaran abad ke-19 M. Buku yang merupakan sebuah disertasi yang disponsori oleh banyak pihak ini, terutama LIPI, lebih banyak menguraikan bagaimana peran orang-orang laut ini memberikan banyak pengaruh pada kehidupan darat. Dalam hal ini, Lapian memfokuskan diri mengapa dan bagaimana campur tangan imperialis atau kolonialis bangsa barat terhadap kawasan laut nusantara. Uraian ini akan menjelaskan kepada para pembaca, mengapa batasan temporal yang dipilih adalah kisaran abad ke-19 M yang rupanya baru pada masa inilah penjajah barat rampung menjinakkan para penguasa maritim. Lapian menyebutkan bahwa, pangkalan-panglan dagang orang-orang Eropa memang telah berdiri jauh sebelum masa itu, namun baru pada abad ke-19 M orang-orang barat bisa menguasai jalur perdagangan (dunia laut) nusantara, khususnya wilayah pantai Makassar, Laut Jawa, Banda, dan Laut Flores. Pada titik bahasan inilah, Lapian menguraiakan geliat “peperangan” para penguasa laut dengan kaum imperialis barat yang ternyata sangat sulit dibandingkan dengan menjinakkan wilayah darat.
Sebagaimana yang dituliskan pada paragram sebelumnya, penulis akan mencoba menanggapi hasil penelitian kemaritiman Indonesia ini dengan beberapa ide-ide untuk masa depan. Hal ini menjadi bagian penting yang hendak disampaikan, sebab penulis bernggapan bahwa memang sejarah itu diteliti, dipelajari dan diketahui tiada lain untuk mengunduh nilai-nilai bijaknya untuk masa depan. Jadi sejarah sebagai sebuah paradigma yang turut membangun strategi dalam menentukan arah masa depan.
Berpijak pada simpulan umum dari apa yang dijabarkan oleh Lapian dalam dua karya tersebut, penulis berupaya mempikirkan bangunan arah masa depan bagi Indonesia. Pengalaman masa lalu yang jelas membuktikan aspek maritime memilki peran yang amat penting dalam mempengaruhi kehidupan manusia di daratan, tentu dalam era kekinian pun harus pula di pamahi demikian. Pada segi membangun rasa cinta tanah air atau nasionalisme yang dibangun dari kematangan atas pemahaman wawasan nasional, maka aspek kemaritiman adalah bab yang sangat vital. Sebab, mengulang kembali penjelasan pada paragraph sebelumnya, bahwa ibarat manusia, tulang-tulang adalah kepulauan dan sendi adalah lautannya. Jadi bisa dipastikan, bukanlah manusia yang berwujud selayaknya manusia jika sendi yang menghubungkan antar tulang tersebut tidak ada. Bukan Indonesia jika tanpa wilayah laut atau bahari. Lapian menegaskan konsep ini dengan tinjauan kebahasaan, yakni dengan mendahulukan penjabaran makna istilah bahari dan nusantara pada kedua karyanya tersebut.
Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA) adalah wacana yang “sexy” tengah diperbincangkan publik, terutama pihak-pihak pemerintah dan pengusaha. Penulis mengambil wacana ini sebagai sebuah stimulus yang segar dimana sebenarnya hal ini adalah tantangan Indonesia yang telah ada sedari dulu. Pakar kajian hubungan internasional ternama dari National University of Singapore (NUS), Khisore Mahbubane telah banyak menerawang soal potensi Asia sebagai hamisfer baru dunia. Sebuah tandingan bagi dunia barat yang telah berabad-abad lamanya menjadi kiblat dunia (Kishore Mahbubane, 2011). Penelitian ini merupakan kelanjutan dari penelitian sebelumnya mengenai kemampuan orang Asia dalam berpikir, mengurai kecerdasan orang Asia dalam “menakhlukkan” dunia. Kedua penelitiannya ini dapat kita lihat bersama dalam konteks kehidupan negara di kawasan ASEAN tentunya.
ASEAN yang kini dihadapkan dengan tantangan daya saing dari Jepang, Cina dan yang terakhir adalah India semakin menunjukkan kedinamisannya, terutama dalam geliat perekonomian. Pada bahasan selanjutnya kali ini akan lebih mengarah pada aspek perekonomian regional Asia Tenggara. Hal ini disinggung karena penulis mencoba memberikan refleksi historis mengenai pergerakan budaya yang banyak berisikan urusan ekonomi. Maksudnya, aktifitas perekonomian terlihat jelas sebagai tunggangan utama pergerakan budaya di kawasan Asia Tenggara. Di samping itu, bisa jadi aspek perekonomian lah yang menjadi gerbong utama dalam pandangan Kishore mengenai potensi orang Asia yang dalam waktu dekat akan menjadi kiblat dunia menggantikan dunia barat.
Perdagangan yang terjadi di kawasan negeri di bawah angin, Asia Tenggara dulu sangat menempatkan medan maritime sebagai penopang perekonomian negara. Medan maritime yang menjadi lalu-lintas perdagangan internasional ini sangat diperhatikan karena sekaligus media mendongkrak legitimasi politik negara. Pada era klasik atau kerajaan misalnya, Sriwijaya yang dikenal sebagai kerajaan maritim karena prestasinya dalam menguasai pelabuhan-pelabuhan dengan cara membangun dan membentuk fasilitas perdagangan internasional yang “nyaman”, seperti meningkatkan jaminan keamanan dalam berdagang dengan memperkuat armada laut (Ricklef, 2010).
Saat ini, optimalisasi kawasan maritim sebagai medan lalu-lintas perdagangan internasional di Indonesia menjadi kalah “pamor” dengan adanya potensi baru yakni kekayaan dalam laut, baik hayati mapun non-hayati. Tak mengherankan jika eksploitasi sumber daya ini bergitu laris sehingga banyak bermunculan kerusakan alam. Memang benar dalam konteks kekinian, pihak-pihak orang laut, bajak laut dan raja laut sebagaimana yang dipaparkan Lapian tidak lagi ada. Akan tetapi, penulis mencoba kembali memaparkan beberapa potensi yang mungkin dilupakan, yakni terkait dengan pemberdayaan kembali kawasan maritim sebagai medan dagang yang mampu memberikan jaminan “kenyamanan”. Jaminan kenyamanan yang dimaksud mungkin bisa dicontohkan dalam hal keterjaminan informasi medan lautan, terkait cuaca yang baik, peningkatan kualitas pelabuhan dan pelayanannya serta informasi dan ketersediaan pasar bagi para pelaku usaha dagang.
Dunia ilmu pengetahuan dan teknologi kini sangat pesat perkembangannya. Wilayah bahari Indonesia sudah seharusnya meningkatkan peluang ini untuk membangun peluang lainnya agar medan maritime terpakai dengan baik dan maksimal, tidak sebagai tempat pembuangan limbah atau sampah saja dimana sering diberitakan kini. Sumber daya hayati yang menyediakan potensi alam wisata dan penelitian serta pengembangan ilmu kelautan juga telah dimiliki negeri seribu pulau ini. Jadi ini adalah kesempatan yang tak boleh terlewatkan begitu saja.
Indonesia sebagai bagian dari negara dengan budaya ketimuran yang dikenal halus dan sopan seharusnya bisa menjadi model pengembangan sistem perdamaian internasional. Indonesia dengan wilayah geografis yang sedemikian rupa berkesempatan menjadi pelopor pencipta kedamaian dunia, bisa duduk bersama, bertetangga baik dengan negara lain. Memandang Indonesia bukan hanya dalam segi wilayah daratan sebagaimana yang diungkapkan oleh Lapian, maka memang harus mampu memantapkan semangat persatuan dan kesatuan. Keberbedaan budaya, suku dan ras adalah kekayaan yang harus dimanajemeni dengan semangat pemahaman wawasan nasional, termasuk makna wilayah maritim itu sendiri.


Daftar Pustaka
Adrian B. Lapian, 2011. Orang Laut, Bajak Laut, Raja Laut: Sejarah Kawasan Laut Sulawesi Abad XIX, (Gadjah Mada University Press: Yogyakarta)
Riris K. Toha-Sarumpaet (ed), 2011. Ilmu Budaya dan Tanggung Jawabnya: Analekta Pemikiran Guru Besar FIB UI,(Universitas Indonesia Press: Jakarta)
Ricklef, 2010. Sejarah Indonesia Modern, (Gadjah Mada University Press: Yogyakarta)
Kishore Mahbubani, 2011. Asia Hamisfer Baru Dunia: Pergeseran Global ke Timur yang tak Terelakkan, (Penerbit Kompas: Jakarta)


[1] Sebuah pandangan balasan atas artikel karya A.B Lapian: Sejarah Nusantara: Sejarah Bahari dalam buku: Ilmu Pengetahuan Budaya dan Tanggungjawabnya: Analekta Pemikiran Guru Besar FIB UI (Riris K. Toha-Sarupaet (ed), 2011, Universitas Indonesia Press: Jakarta) serta buku: Orang Laut, Bajak Laut, Raja Laut: Sejarah Kawasan Laut Sulawesi Abad XIX, 2009, Komunitas Bambu: Jakarta)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar