Selasa, 23 April 2013



ONE HEART, ONE TARGET ON DA’WAH
Oleh:
Mochammad Baihaqi Al Chasan

Sebagai khalifah bumi yang berkewajiban “memperindah” bumi dengan “warna” keshalihan sudah sepatutnya menjadikan dakwah sebagai gaya hidupnya. Setiap detik, jam, dan hari yang memenuhi umur yang dikaruniai oleh Allah harus senantiasa diisi dengan gerakan-gerakan dakwah yang memancarkan sinar inspirasi kepada setiap manusia. Senantiasa memberikan role of model manusia yang terpuji.
Setiap muslim pasti telah menyadari akan kodrat manusia sebagai “pahlawan” di bumi ini. Namun, sebagai manusia biasa yang banyak kekurangan dan gudangnya kekhilafan. Konsep untuk dakwah kepada umat tidak mungkin mampu mempunyai fokus yang optimal. Maka dari itu, sebagai makhluh Allah yang mempunyai keterbatasan, melakukan dakwah intensif yang dilaksanakan pada satu obyek. Konsentrasi dakwah yang optimal tertuju pada satu obyek da’wah meniscayakan keberhasilan dakwah yang makasimal pula. Selebihnya, manakala keberhasilan yang tinggi pada satu obyek dakwah tersebut dapat memperpanjang rantai pendakwah yang dapat memberikan “pencerahan” kepada rekan-rekannya (obyek dakwah lain).
Konsentrasi pada satu obyek da’wah ini dapat dikemas dengan prosedur pelaksanaan yang efektif. Yaitu dengan menyertakan jadwal dakwah yang berkesinambungan, terus-menerus hingga membuahkan hasil. Selanjutnya, dilakukan dengan banyak metode pendekatan. Pendekatan yang dimaksud adalah dengan pendekatan kekeluargaan, hubungan persahabatan. Seperti, sms atau media sosial-media lainnya yang mendukung dan terjangkau oleh target dakwah tentang peringatan terkait amal sholah; sholat wajib/sunnah, akhlaq, fiqih dan sebagainya. Ikhtiar dakwah melalui media kedua tersebut harus disempurnakan dengan hubungan kekeluargaan yang intensif. Sepert menambah kesempatan untuk bertemu (silaaturrahim). Sekedar untuk ngopi, olahraga bersama dan lain-lain.
Upaya dakwah yang demikian tadi dapat ditingkatkan kadar konsentrasinya dengan memerhatikan apa yang tengah “digelisahkan” oleh target dakwah. Misalnya sang obyek dakwah sedang dilanda pelbagai rupa musibah, kekuranga baik yang secara sadar atau belum dirasakan oleh sang target dakwah. Kemudian sang pendakwah harus segera tanggap dengan responsif, kritis dan solutif dalam memberikan jalan keluar yang berlandaskan syariat islam. Dengan demikian, pencerahan syariat islam yang menjawab permasalahan sang obyek dakwah merupakan “tembakan” dakwah yang InsyaAllah benar-benar meninggalkan makna mendalam baginya.
Oleh sebab itu, cakrawala pengetahuan agama islam bagi seorang pendakwah harus senantiasa dilejitkan. Kebendaharaan wawasan islam yang senantiasa diperbarui adalah sebuah keniscayaan bagi setiap pendakwah. Kekayaan ilmu yang dimikili pendakwah akan memudahkan memberikan solusi-solusi yang “menyegarkan” bagi umat.
Apabila prosedur  dakwah dengan konsep one heart, one target on dakwah dilakukan dengan optimal dan istiqomah, maka melahirkan obyek dakwah yang berkualitas bukanlah hal yang imajiner. Metode ini berkemungkinan besar akan memberikan efek dakwah yang mendalam bagi sang target dakwah. Meninggalkan momen rohani yang berkesan sehinggaa takkan mudah untuk ter (di)lupakan. Juga bukan sebuah kemungkinan yang tidak mendasar tatkala sang obyek dakwah kelak bisa meneruskan atau memperkuat jaringan dakwah untuk memperluas gerakan-gerakan dakwah dibumi ini. Karena hal yang besar bermula dari unsure kecil. Suatu hal yang besar tidaklah disebut besar manakala tumbang salah satu bagian terkecilnya. Semoga barokah!

www.google.com/images/heart to heart



Sabtu, 23 Februari 2013

Essay Pengantar Juara 3 Duel Debat Bahasa "Selamatkan Kretek Selamatkan Indonesia" Tingkat Nasional UKSW Salatiga Jawa Tengah 2013





KRETEKKU HILANG INDONESIAKU MALANG
Oleh:
T. Adi Sampurno, Mochammad Baihaqi Al Chasan,
Hudha Abdul Rohman
UNIVERSITAS AIRLANGGA SURABAYA

Indonesia terkenal dengan sebutan negara kepulauan yang sampai sekarang ini dikagumi kancah internasional. Kekayaan dan kemakmuran negeri martim ini telah tercermin dalam ungkapan sastrawi era Majapahit “gemah ripah loh jinawi, tata tenteram karta raharja”(Ketut Rindjin, 2012; 35). Kekayaan alam yang banyak mengandung pundi – pundi material tambang diperkaya dengan menawannya bentang alam yang elok. Gambaran surga dunia yang dimiliki Indonesia semakin utuh oleh manusia – manusia yang hidup di atasnya dengan beraneka keberagamannya. Multikulturalisme masyarakat Indonesia tersebar indah dari Sabang hingga Merauke yang mana semakin menambah keelokan Ibu Pertiwi di mata dunia. Betapa mewahnya Indonesia ini di mata dunia. Itulah sebabnya, bangsa – bangsa asing banyak berdatangan silih berganti mendatangi negeri kepulauan terbesar di dunia ini. Sejarah panjang Indonesia yang banyak dituliskan baik dengan pahit maupun manis merupakan bukti betapa matangnya pengalaman historis negeri ini untuk sebagai modal utama dalam melangkah, meniti masa depan. Indonesia yang bertanah subur, telah menorehkan sejarah dan mengukir identitas bahwa Nusantara ini telah lama tumbuh dan berkembang di atas perahu kekayaan agraris. Sejarah Indonesia memang tidak bisa jauh dari bergulirnya roda sektor pertanian.
Tumbuh kembangnya Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) dengan berkembang  pesatnya laju pertanian membuatnya dikenal sebagai negara dunia ketiga yang bercorak agraris. Daratan yang dimilikinya mampu menghasilkan komoditi-komodi primadona perdangan internasional sejak dahulu kala. Bermacam rempah-rempah dan sutra sempat menghebohkan dunia perdagangan dunia, termasuk di dalamnya ialah tembakau. Indonesia yang secara geografis dilewati oleh rantai cincin gunung api mempunyai konsekuensi positif bagi tanah yang subur. Hal ini tidak menutup kemungkinan bagi budidaya tembakau yang besar. Dan terbukti, sinyal potensi budidaya tembakau yang dimilki dataran – daratan di Indonesia ditangkap dengan cerdik oleh para penjajah. Kolonial Belanda dengan segenap upaya menjadikan Nusantara sebagai lumbung emas yang ditelurkan dari sektor agraris tembakau. Hingga kini Indonesia dikenal termasuk dalam jajaran negara penghasil tembakau terbesar. Potensi pertanian tembakau di Indonesia membawa dampak positif yakni terdongkraknya perindustrian rokok, terutama kretek. Indonesia memang bukanlah pencetus budaya merokok, namun negeri ini merupakan penghasil bahan rokok yang tidak dapat dipandang sebelah mata. Indutri rokok kretek rupanya telah lama bertengger dan membudaya sejak lebih dari ratusan tahun di kalangan masyarakat Indonesia (Salamuddin Daeng, dkk, 2011; 1). Di kawasan Asia, khususnya Asia Tenggara yang mana termasuk Indonesia, tembakau telah dikonsumsi sebagai obat maupun penyemangat stamina. Dengan berbagai cara dan rupa tembakau dikonsumsi dan telah melekat dalam keseharian masyarakat Indonesia, terutama dalam rutinitas kerja.
Sejak awal abad ke-19, indutri kretek telah mampu berekspansi hingga daratan Eropa. Industri kretek ini telah mampu mengangkat perekonomian nasional di masa depannya. Hingga pada era reformasi, kretek mampu menyumbang pendapatan negara yang tidak sedikit, bahkan dapat melebihi sektor pertambangan. Bayangkan saja dalam sepuluh tahun terakhir, data dari Bank Indonesia tahun 2011 seperti yang dikutip oleh Syamsul Hadi, dkk dalam buku “Kriminalisasi Berujung Monopoli”,  penerimaan cukai dari perindustrian rokok meraih rekor 19,47 % atau mencapai angka 62,75 triliun rupiah. Dengan demikian, jika ditinjau atau dikaji ulang secara seksama, maka akan berujung pada sebuah inferensi bahwa sektor pertambangan dan pertanian, yakni tembakau lebih potensial (Dahris Siregar, dkk, 2011; 3). Indutri rokok Indonesia dan Pertambangan mungkin akan sama – sama menyerap banyak tenaga kerja. Sehingga bisa diperkirakan bahwa kedua sektor ini dapat menekan angka pengangguran. Namun, sektor pertambangan akan banyak menyerap pula modal atau investasi besar untuk proyek – proyek pertambangan. Belum lagi soal dampak lingkungannya yang mana harus senantiasa mendapatkan perhatian agar masalah lingkungan yang menyertainya dapat diatasi dengan tepat.
Berbeda dengan sektor agraris, yakni tembakau. Industri rokok mampu diupayakan hasilnya dengan optimal dengan tidak menyertakan modal atau investasi sebesar sektor pertambangan. Untuk Indonesia, industri rokok dapat dijalankan dengan optimal hanya dengan memakan lahan sekitar 198 ribu hektar. Sementara sektor pertambangan bisa memakan lahan hingga 42 juta hektar (Ahmad Suryono, dkk, 2011; 3). Industri rokok tidak membutuhkan alat-alat dan ahli yang sophisticated dimana merupakan pos anggaran yang banyak membutuhkan aliran dana yang tidak sedikit. Kemungkinan campur tangan banyak investasi asing pun sedikit lebih tertutup dari pada sektor pertambangan. Sektor pertambangan yang diberdayakan oleh pemerintah negara ini masih banyak melibatkan intelektualitas asing yang dikemas dalam proposal investasi asing.
Sementara, sektor industri yang dimaksimalkan di dalam negeri akan banyak menyerap tenaga kerja, tenaga ahli dan perlatan serta perlengkapan yang banyak bisa terjangkau oleh masyarakat Indonesia sendiri. Salamuddin Daeng, dkk, dalam buku “Kriminalisasi Berujung Monopoli” menyertakan data dari International Labour Organization (ILO), menyebutkan bahwa jumlah tenaga kerja yang terlibat langsung dalam industri rokok di Indonesia mencapai angka 10 juta orang (ILO, 2003). Angka ini cukup signifikan dalam menekan angka pengangguran. Jumlah sekian juta ini mencapai 30 persen dari jumlah tenaga kerja sektor formal di Indonesia, atau sekitar 10 persen dari jumlah tenaga kerja secara keseluruhan (Salamuddin Daeng, dkk, 2011; 3). Tanah Indonesia adalah tanah yang telah bersahabat dengan budidaya tembakau. Penduduk Indonesia telah terinternalisasi secara kultural sebuah kebiasaan yang terintegrasi membentuk sebuah peradaban agraris tembakau. Ada banyak cerita tentang tembakau yang melegenda. Secara klasik, sering terdengar cerita sang SPG pertama, Roro Mendut yang menaktualisasikan kepermpuanannya dengan menjadi seorang penjual rokok keliling pertama. Di ranah yang lebih modern, K.H Agus Salim sang Pahlawan bangsa telah mengukir sejarah dengan menertawakan balik orang-orang Eropa yang menertawakannya tatkala menghisap rokok di dalam sebuah forum internasional di Inggris.
Rokok dan manusia Indonesia telah membentuk sebuah ikatan sejarah yang turut memwarnai identitas kejayaan negera seribu pulau ini. Dengan demikian, tidak berlebihan jika rokok kretek merupakan bagian penting dari warisan luhur nenek moyang yang harus dijaga oleh para generasi penerusnya. Isu-isu terkini yang begitu jelas sang generasi penerus memandang sebelah mata kekayaan luhur ini dengan mengatasnamakan banyak fatwa dan pendirian ini dan itu. Sungguh sangat ironi ketika para pengisi kemerdekaan ini tidak dapat memahami dengan arif dan bijak terhadap setiap kekayaan luhur warisan nenek moyang. Para cendekiawan muda negeri ini terlihat dengan seenaknya mengulang, menambal-sulam budaya leluhur hanya karena kepentingan-kepentingan modal dan pengkayaan diri atau golongan. Eksistensi industri rokok kretek yang semakin tersudutkan akibat campurtangan para pembesar negara dengan perjanjian-perjanjian pasar bebas sperti ASEAN – China Free Trade Agreement (CAFTA) dan ASEAN-India. Kedua negara tersebut merupakan competitor utama Indonesia dalam memproduksi kretek. Kebijakan perjanjian tersebut berdampak pada melesunya meningkatnya nilai impor tembakau hingga mencapai 20 ton pertahunnya (Salamuddin Daeng, dkk, 2011; 4).
Di tengah kecaman kebijakan perjanjian dagang internasional, industri kretek kian meredup tatkala kampanye besar “mengharamkan” rokok oleh bayak pihak. Pihak-pihak pemerintah turut mensinergiskan diri dengan pihak-pihak swasta seperti LSM, LBH yang didanai oleh Bank Dunia, untuk mengusir kebiasaan merokok di Republik ini. Belum lagi ditambah dengan serangan-serangan pemerintah pusat maupun daerah yang memberlakukan kebijakan, aturan atau hukum -hukum yang semakin mengikat peredaran kretek di buminya sendiri. Para ahli hukum dan kesehatan seolah terlihat mendiskriminasikan dengan tajam tentang keharaman rokok ini. Mereka seakan mentup segala hal penyebab menurunnya kesehatan.  Tidak ada analisa yang bijak dalam menangani kasus rokok kretek ini. Di tengah gencar-gencarnya poster anti rokok tertempel di banyak dinding bangunan pemerintah dan fasilitas umum negeri ini, para perusahan rokok asing seakan menyusup dengan mulus dan meraup untuk sebab mendapatkan lahan pasar ekonomi yang strategis di Indonesia. Nampaknya, para pengusaha asing mendapatkan sambutan “tangan istimewa” dari para pengambil kebijakan negeri ini.
Indonesia telah merdeka lebih dari lima puluh tahun. Kemapanan pendidikan yang diselenggarakan semakin banyak menghasilkan para cendekiaawan yang semestinya mumpuni dalam menanggapi dan menawarkan solusi strategis untuk permasalahan nasional ini. Namun, sungguh tragis ketika masalah ini justru berangsung-angsur tidak kunjung mereda. Penganggunran dan aksi gulung tikar industri kretek semakin kerap terdengar. Aksi demo buruh kian mencuat ke permukaan lantaran tak terbendung lagi. Mengapa para pembesar bangsa ini seakan kehilangan kecerdasannya tak seperti ketika duduk di bangku pendidikan yang dienyamnya dahulu. Ada apa dengan republik ini? Apakah ada pesona KKN yang bertebaran dalam nadi sanubari para birokrat dan pemimpin NKRI?
Ada dua pertentangan kuat yang mendominasi kasus nasional yang tak kunjung reda ini. Pertama, adanya aksi penolakan rokok dan eksistensi industri rokok nasiol sebab diyakini sebagai biang kerok tersendatnya keberhasilan Millenium Development Goals (MDGs) di Indonesia, khususnya sektor kesehatan. Pihak-pihak yang anti rokok berdalih bahwa kesehatan adalah modal terbesar dalam menjaga estafek kebudayaan bangsa. Dan rokok adalah pembunuh ulung kesehatan dan pemadam intelektualitas anak bangsa. Kedua, pihak anti rokok mendapat serangan penolakan keras dari para pemerhati sosial – budaya dan para petani tembakau dan pengusaha kretek. Mereka mempunyai dalih kuat bahwasannnya mematikan sektor ini hanyak akan mempersuram perekonomian NKRI. Mereka dengan kuat menegaskan bakat dan potensi ekonomi manusia Indonesia tidak lain adalah bertani, termasuk di dalamnya budidaya tembakau penghasil kretek. Selain itu, mereka memperkuat argument dengan analisa historis, bahwa tembakau dan kretek dalah warisan budaya nenek moyang yang harus dijaga bukan sebaliknya.
Permasalahannya, berlarut-larut pertikaian ini terus berlangsung dan bahkan kian menggema tanpa solusi. Tulisan ini mencoba menyemaikan jalan tengah yang mana diharapkan mampu menawarkan solusi paling dirindukan para pakar kesehatan, budayawan, petani dan pengusaha di Indonesia. Alangkah lebih baiknya, solusi atas permasalahan yang tidak enteng ini dipikirkan dengan mendalam. Kedua pihak yang saling bertentagan tidak lantas dihakimi dengan keras pihak ini yang salah dan pihak ini yang benar. Tidak dapat dipungkiri jika memang Indonesia secara historis memang merupakan tanah tembakau yang sejak lama membentuk peradaban yang bersahabat dengan tanaman kaya nikotin ini. Analisa mendalam juga tidak dapat mengingkari bahwa manusia Indonesia telah lama menggantungkan diri di atas roda perekonomian tembakau. Sudah banyak jiwa-jiwa yang bertahan lantaran terkucuri materi dari kegiatan ekonomi bersama tembakau dan kretek.
Selanjutnya, realita yang tidak dapat terfatamorganakan oleh pandangan bahwa penelitian terbarukan memang membuktikan merokok adalah kebiasaan yang merugikan kesehatan. Sudah banyak bermunculan dan terpublikasikan di kalangan khalayak Indonesia bahwa dengan merokok akan memancing perkara kesehatan yang komplek. Memang merupakan sebuah kerangka berpikir yang tak sepenuhnya salah jika dengan menurunnya kesehatan para generasi muda akan berdampak pada menurunnya prestasi bangsa. Namun perlu digaris bawahi bahwa kedua argument tersebut tidak jauh dari layaknya sebuah keyakinan atau agama. Kedua pihak pro maupn kontra mempunyai dasar pemikiran tersendiri yang mana mereka yakini. Perbedaan akan keyakinan tersebut adalah wajar, jadi sebagai penerus bangsa yang intelek dan bijak harus meformulasikan sebuah konsep solusi yang wajar, yakni mengedepankan kepentingan humanis. Mematikan salah satu pihak di atas bagaikan sebuah permainan variabel dalam pelajaran matematika hanyak akan membawa kerusuhan yag tak kuncung redup.  Sebab kebijakan tersebut berawal dari peletakan manusia laksana robot atau benda mati.
Dengan demikian segala kebijakan terkait perindustrian nasional kretek Indonesia harus berpihak pada kedua kubu di atas. Mereka semua perlu diakomodasi apa yang digelisahkan dan apa yang dikehendakkan. Bukankah idealnya, para pemimpin bangsa itu mengayomi dan mendengarkan keluh kesah warganya?. Diperlukan kebijakan yang tepat agar bagaiman kedua belah pihak ini merasa diperhitungkan dan dipenuhi kehendaknya tanpa harus mengeliminasi kepentingan pihak lain. Manusia sejatinya merupakan hewan yang berpikir (animale rational) yang pastinya akan mengerti bagaimana belajar dari pengalaman demi pengalaman. Adapaun jika meraka yang pendukung kretek mengalami apa yang dikhawatirkan oleh mereka yang pro kesehatan, maka sanubari mereka pasti akan berangsur-angsur akan meninggalkan kretek dan juga sebaliknya.
Indonesia masih merupakan negara berkembang yang haus akan pembangunan dan pembangunan. Baik pembangunan intelektual manusianya maupun pembangunan infrastruktur yang mendomplang kemakmuran hidup berbangsa dan benegara. Dengan demikian, jalas bahwa stereotip pemikiran yang menyatakan bahwa kemakmuran terindikasi mutlak oleh kemapanan perut, maka solusi strategis untuk kali ini adalah tetap memperhatikan kemapanan industri rokok kretek nasional. Sebab, mematikan industri turun-temurun ini hanyak akan menambah deretan pengangguran dan kemiskinan. Mengapa demikian karena laju dampak sosial ekonomi terbukti lebih cepat dan besar dampaknya dari pada ancaman-ancaman kesehatan seperti yang dikampanyekan baru-baru ini.
Himpitan sosial ekonomi akan lebih membunuh dari pada himpitan kesehatan yang datang dari batang-batang kretek. Bukti logisnya, ratusan tahun orang-orang Indonesia secara historis mampu bertahan akan ancaman itu dan dengan demikian sebetulnya masyarakat republik ini telah terbiasa mengantitesa dampak-dampak negatif dari rokok itu sendiri. Di samping itu isu globalisasi yang menghangatkan gairah untuk “nguri – ngurio budoyo” seharusnya menjadi lahan empuk yang potensial. Tembakau dan kretek telah menjadi heritage Indonesia yang potensial sebagai wahana konservasi identitas bangsa yang mempunyai implikasi logis sebagai wisata budaya pendongkrak ekonomi nasional.
Dengan ini, dapat dianalisa seksama bahwa mematikan sektor pertanian tembakau yang mensuplai atas kemapanan industri kretek nasional juga secara langsung turut mengikis identitas bangsa dan negara Indonesia. Jika diandingkan dengan ancaman kesehatan yang memprediksikan bahwa manusia bisa mengalami kematian dalam kurun waktu tertentu, maka jika mematikan sektor tembakau ini juga memancing ancaman jangka panjang. Yaitu terkikisnya bagian penting dari identitas bangsa. Apa jadinya jika identitas negera ini dipertanyakan kembali oleh dunia?  Belum ada riset atau bahkan hipotesa sekalipun terkini yang menganalisa bahwa ada korelasi kuat antara merokok yang notabene tidak semua orang merokok dapat merobohkan sebuah negara.
Namun, sudah bayak tersirat dalam lembar sejarah bahwa sebuah negeri dapat dengan mudah rapuh dan akhirnya gulung tikar disebabkan lunturnya identitas nasional yang dibayangkan bersama (imaging communities) seperti yang diungkapkan Anderson. Dapat dicontohkan ialah terpecahnya India – Pakistan, Timor Leste dan sebagainya. Optimalisasi sektor pertanian, terutama tembakau dalam rangka melejitkan pendapatan industri kretek nasiolan, bukanlah sekedar merupakan aksi mengubur kepedulian kesehatan. Dengan solusi ini bukanlah untuk menciptakan labelling bahwa Indonesia adalah negara yang rendah angka kepeduliannya terhadap kesehatan. Pelaksanaan kebijakan semacam ini harus senantiasa dikawal dengan maksimal demi tercapainya harmonisasi seluruh aspek kesejahteraan manusia Indonesia.




Minggu, 27 Januari 2013

Tugas Mata Kuliah Penulisan Kreatif: Warung Giras "Muchid" is Never Dies


Warung Giras “Muchid” is Never Dies


        Sore itu pada bulan Agustus 2011 sekitar pukul 18.00 WIB , Surabaya mulai kembali ditinggalkan mentari dan digantikan dengan gelap yang kala itu bukannya sang rembulan yang menyapa namun rintik hujan yang kian deras menyerbu. Di antara kemercikcanda rintik hujan, terdengar keramaian senda gurau orang – orang yang duduk santai di sebuah warung yang terletak di kawasan Jojoran I Kota Surabaya.


Di temani segelas es teh dan sebatang rokok, mereka terlihat begitu asyik bercengkrama dengan bebas, lepas tanpa beban dan tak terlewatkan kata – kata dancok dan gathel yang kerap terdengar. Nampaknya, rintik hujan yang kian deras semakin membuat cangkru’an di warung dekat gerbang Jojoran Asri itu semakin mantap.

            Warung yang ramai pengunjung tadi akhirnya membuatku tertarik untuk menghampirinya dari pada langsung pulang ke kos. Sembari menunggu alunan rintik hujan berakhir, aku putuskan untuk memesan teh hangat seharga seribu rupiah. Kebetulan, waktu itu aku bersama teman – temanku yang juga memesan segelas teh hangat. Tatkala menunggu pesanan teh hangat, aku memerhatikan deretan menu – menu makanan di warung itu. Terdapat macam – macam makanan dari yang kecil atau makanan ringan, berbagai minuman rasa hingga nasi bungkus seharga Rp. 4000 dengan aneka lauk - pauknya. Setelah ku perhatikan, ternyata nasi bungkus seharga Rp. 4000 itu merupakan menu idola dari sekian banyak pengunjung terutama mahasiswa, karena memang harga dan porsinya sesuai dengan kantong anak kos. Berikutnya es teh dan eh josua (campuran minuman suplemen makanan dan susu fullcream) adalah minuman yang disukai banyak pengunjung.

            Kebanyakan pengunjung dari warung yang bisa dikatakan sejenis dengan warung kopi ini adalah laki – laki. Pemiliki serta pelayannya pun juga seorang laki – laki. Akan tetapi, sesekali juga pernah ku lihat ada pengunjung wanita. Wanita yang datang diwarung yang luasnya dua belas meter persegi itu datang untuk sekedar menemani sang pacar atau suami dan atau mengantarkan makanan ringan, nasi bungkus untuk dititipakan dan dijual di warung tersebut. Warung yang dikenal dengan sebutan warung “giras” itu rupanya adalah warung kopi dimana orang – orang yang datang dari berbagai tingkatan sosial ada disitu. Mulai dari para buruh (pekerja kasar), mahasiswa hingga PNS (Pegawai Negeri Sipil). Meskipun warung yang terletak disebelah timur laut kompleks pemakaman islam dan kristen kawasan Jojoran I ini seringkali terlihat kumuh yang mana disebabkan lingkungannya yang merupakan lahan kosong yang rawan digunakan untuk membuang sampah sembarangan, namun hal ini bukan sebuah halangan untuk mampir di warung giras itu. Warung giras milik Muchid ini begitu digemari karena selain harga rata – rata menunya relatif murah, warung ini juga dekat dengan pedagang nasi goreng, bakso, nasi tempe penyet dan soto daging sehingga tak jarang para pengunjung warung giras sekalian pesan makanan pada pedagang sekitar warung giras itu.

            Warung giras binaan Muchid ini ternyata dalam sehari bisa mendapatkan pendapatan kotor sekitar tiga juta rupiah dan pendapatan bersih sekitar Rp. 700.000. Dengan demikian pendapatan bersih rata – rata perbulan bapak berusia 33 tahun ini mencapai Rp. 21.000.000. Sungguh pendapatan yang luar biasa bukan, sehingga tak mengherankan jika usaha warung giras ini mempunyai tiga karyawan yang mana  dua di antara mereka digaji masing – masing Rp. 1.500.000 dan yang satunya Rp. 750.000 setiap bulannya.

Tak seperti warung kopi biasa. Warung giras yang sepadan dengan warung kopi dimana erat sekali dengan lingkungan kumuh, masyarakat kelas bawah, hura – hura dan sering digunakan sebagai tempat minum alkohol. Akan tetapi lain halnya dengan warung giras milik Muchid ini. Warung giras yang baru saja mendapatkan sponsor dari salah satu merk rokok terkemuka di Indonesia ini mempunyai banyak pelanggan lantaran pelayanannya yang bisa dibilang berbeda dengan warung – warung kopi biasanya. Meskipun bertempat dilingkungan yang lumayan kumuh, namun warung ini selalu bersih. Ditambah pelayanan yang ramah membuat semakin tak terpisahkan dengan banyak pelanggan.

Perjuangan keras + Kesabaran + Do’a + Good Atitude= Kesuksesan

            Warung milik Muchid ini didirikan pada tahun 2004 dengan modal hanya sekitar seratus ribu rupiah. Modal yang minim ini rupanya didapatkan oleh Muchid dari jerih payahnya membuka warung kopi gerobak pertama di daerah Kedung Cowek atau sekitar kawasan jemabatan “Suramadu”. Warung kopi gerobak tersebut rupanya tidak bertahan lama. Muchid yang bersusah payah memulai usaha warung kopi gerobak, namun pada akhirnya pria kelahiran Gresik 33 tahun lalu ini harus mengikhlaskan gerobaknya untuk diambil petugas Satpol PP karena masalah ketertiban kota.

            Mengingat masih mempunyai tanggung jawab besar dalam menghidupi keluarganya, bapak satu putri ini membuka warung kopi alias warung giras kembali. Pak Muchid tergolong seseorang yang selalu belajar dari sejarah. Pria kelahiran Gresik, 22 Maret 1977 ini benar – benar bertekad agar kegagalan yang pernah ia lakukan tidak kembali terulang. Usaha warung giras kali ini, Muchid mulai memperhitungkan asas legaitas atas warung yang akan dibangunnya ini.Muchid terlebih dahulu mengurus soal perizinan atas pendirian warung girasnya yang direncanakan akan dibangun di Kawasan Jojoran 1, yakni sebelah barat toko swalayan. Akhirnya, Muchid berhasil memperoleh perizinan dari warga setempat, terutama pemilik lahan dan ketua RT setempat.

            Di dapatkannya izin pendirian warung oleh warga, pemilik lahan dan ketua RT setempat merupakan “lampu hijau” bagi Muchid yang semakin menumbuhkan semangatnya untuk mendirikan usaha warung giras di lokasi tersebut. Muchid kembali membuka warung giras dengan modal hanya sekitar seratus ribuan. Dengan bantuan istrinya, Muchid berharap agar warung ini mampu berjalan lancar, bisa mencukupi segara kebutuhan keluarganya.

           Seiring berjalannya waktu, nampaknya warung giras yang didirikannya mendapatkan perhatian warga cukup banyak. Perhatian warga semakin nyata ketika disertai dengan semakin bertambahnya pelanggan warung girasnya Muchid yang datang silih berganti, baik tua maupun muda. Kawasan Jojoran 1 Surabaya ini memang merupakan lokasi yang banyak dikemumuni pelajar dan mahasiswa. Lokasi warung giras Muchid ini kebetulan dekat dengan SMK’45 Surabaya, SMK Dr. Soetomo Surabaya, beberapa TK dan SD serta Perguruan Tinggi Negeri, yaitu Universitas Airlannga (kampus B). Akhirnya, Muchid berhasil mendapatkan pendapat yang rutin guna mencukupi kebutuhan keluarganya. Setidaknya, ada sekitar seratus ribu rupiah untuk setiap harinya, dan Muchid bisa mengambil keuntungan bersih sekitar tiga puluh ribuan. Pendapatan tersebut merupakan hasil dari warung giras yang telah beroperasi selama kurang – lebih 1 bulan. Muchid merasa sangat bersyukur, setidaknya harapan untuk mengembangkan usahanya semakin tebuka.

            Beberapa bulan kemudian, warung yang didirikan Muchid tersebut mulai menunjukkan penurunan dari jumlah pelanggan yang biasanya mampir ke warung yang berukuran sekitar dua belas meter persegi itu. Muchid pun mulai merasakan dampakanya, yakni penurunan pengahasilan setiap hari. Muchid dan istrinya merasa semakin hari jumlah pelanggan bukannya semakin bertambah melainkan semakin sedikit. Akhirnya, Muchid menemukan apa yang menjadi “biang kerok” menurunnya pelanggan warung girasnnya tadi. Ternyata, angkringan atau tempat cangkruk para pelanggan dan warga sekitar yang terdapat di samping kiri warung girasnya tersebut mulai disalah gunakan. Angkringan (sejenis gazebo) yang pada awalnya digunakan untuk berkumpul dan bercengkrama para pelanggan dan warga setempat kini digunakan sebagai tempat untuk berpesta miras pada hari – hari tertentu. Pesta miras yang sering dilakukan para pemuda “beradalan” di tempat cangkruk ini sering kali meresahkan warga sekitar, terutama di malam minggu. Fenomena ini rupanya mempengaruhi para pelanggan warung giras Muchid. Para pelanggan menjadi enggan untuk mampir, karena merasa terusik atau tidak nyaman bila berdekatan dengan orang – orang yang berpesta miras.

            Setelah Muchid mengetahui akan hal tersebut, pria berjenggot tebal ini tidak serta - merta memindahkan warung giras yang baru didirikannya. Muchid pada walnya membiarkan hal itu terjadi, ia berharap pesta miras yang sangat ramai ketika malam minggu itu bisa berhenti dengan sendirinya. Namun, kesabarannya semakin diuji. Lambat laun, Muchid tidak sabar untuk menunggu. Ia tidak sabar dengan perilaku para pemuda yang sering pesta miras di dekat warung girasnya tadi yang dirasa tak kunjung berakhir. Penghasilan warung yang semakin menurut, sementara kebutuhan hidup keluarga Muchid kian menggunung. Muchid pun berpikir sebijak mungkin bagaimana memberikan solusi atas persoalan ini. Akhirnya, Muchid pun memutuskan untuk membuka cabang warung giras baru. Keputusan Muchid kali ini sepintas terlihat aneh alias diluar nalar. Pasalnya, warung yang baru didirikannya tersebut tergolong warung yang hampir merugi, namun justru sang pemilik warung akan membuka cabang baru.

            Keputusan Muchid ini ternyata mengandung maksud cerdik yang tersembunyi. Maksud udang di balik batu ini terpaksa dilakukan Muchid dengan segera, agar tidak memberikan kesan buruk bagi pelanggannya yang termasuk orang yang kerap kali berpesta miras di dekat warungnya. Intinya, Muchid tidak ingin ada kesan “marah” dengan pelanggannya tadi. Ia berharap, agar tetap terjalin silaturrahmi tanpa harus mengorbankan usahanya sendiri.

        Sebelumnya, diam – diam Muchid memperhatikan kawasan lahan kosong di dekat kompleks pemakaman kristen dan islam di dekat pintu masuk Jojoran 1 Asri – Surabaya. Penilaian Muchid terhadap tempat itu kiranya sangatlah tepat jika didirikan sebuah warung giras. Lokasi yang direncanakanMuchid tadi merupakan lokasi yang berdekatan dengan kawasan kos (rumah sewa) mahasiswa Universitas Airlangga, Masjid dan TPQ Jannatul Ma’wa, SMK’45 Surabaya, SMA Muhammadiyah Surabaya serta TK dan Playgroub. Lokasi yang demikian ini sangat dimungkinkan akan mendapatkan pelanggan atau konsumen banyak. 

            Sehubungan dengan rencana Muchid untuk membuka cabang di lokasi tersebut, seperti pada waktu akan mendirikan warung giras di sebelah barat swalayan tadi, Muchid segera mengurus perizinan pendirian warung giras pada pemilik lahan, warga dan ketua RT setempat. Muchid yakin dengan diurus dan diselesaikannya perizinan pendirian warung tadi, maka akan semakin memudahkan langkah usahanya mendirikan dan menjalankan warung girasnya nanti. Dan akhirnya, Muchid pun kembali mendapatkan izin dari warga dan ketua RT setempat serta pemilik lahan. Kebetulan pemilik lahan tersebut berdomisili di Kota Malang, namun Muchid tak perlu jauh – jauh ke Malang, karena sudah ada perwakilan atau penjaga lahan tersebut yang tinggal tepat di gang sebelah utara lahan kosong tadi. Dengan di dapatkannya perizinan tadi, Muchid semakin mantap dan yakin untuk memulai usaha baru di kawasan lahan dekat gerbang gang Jojoran 1 Asri – Surabaya.

            Selanjutnya, Muchid kembali merancang kisaran dana untuk modal yang hendak didirikannya yang mana berjarak kurang lebih setengah kilometer sebelah timur dari warung girasnya yang lama. Pria yang mengaku menyesal tidak bisa lanjut kuliah ini sepertinya akan menyiapkan modal yang lebih besar dari modal sebelumnya. Muchid sangat yakin pada rencana usaha warung giras yang baru ini akan membawa untung besar karena bertempat yang tak kalah strategis dari tempat sebelumnya. Setelah berbagai usaha, pria yang akrab disapa Cak Moked oleh para pelanggannya ini akhirnya bisa menyiapkan dana sekitar dua ratus ribuan atau dua kali lipat dari modal – modal untuk mendirikan warung giras sebelumnya.

            Pria usia 33 tahun ini akhirnya mendapatkan simpati yang baik dari masyarakat sekitar lokasi warung giras barunya ini. Pada hari pertama buka warung yang menyediakan aneka minuman buah ini bisa menghasilkan pendapatan sekitar tujuh puluh ribuan. Penghasilan tadi merupakan penghasilan bersih dan Muchid pun terpacu semangatnya untuk lebih memberikan pelayanan yang semakin baik dari hari ke hari kepada pelanggan – pelanggan barunya.Sampai pada satu bulan selanjutnya.“Alhamdulillahsemakin menunjukkan kemajuan sedikit demi sedikit”, ujarnya.

            Akhirnya perjalanan Muchid dalam menjalankan usaha warung giras di dekat gerbang pintu masuk Komplek Jojoran Asri ini memasuki semester pertama. Sesuai dugaan Muchid, warung yang dimodali dua kali lipat dari modal warung giras sebelumnya ini mampu menyedot perhatian masyarakat yang tak hanya disekitar warung tadi, namun lebih luas lagi. Banyak para mahasiswa Unair yang tempat kosnya bahkan jauh dari warung giras “Muchid” berbondong – bondong mampir ke warung tersebut. Mereka beranggapan, warung giras milik Pria yang bukan berasal dari Surabaya ini memang beda. Warung ini lebih baik pelayanannya, bersih dan lebih lengkap menunya.

            Melihat perkembangan dari usaha barunya ini, Muchid rupanya telah meraup untung yang lumayan. Kemudian Muchid berencana membeli tanah milik orang Malang yang mana digunakan untuk membuka warung girasnya itu. Pendapatan dari warung giras yang baru ini meskipun tergolong lebih besar dari warung sebelumnya, namun ternyata belum bisa untuk membenyar penuh atau separuh dari harga tanah yang ditempatinya tadi. Tanah yang digunakan Muchid ini dipatok harga oleh sang pemilik sebesar satu juta rupiah per meter. Sementara luas tanah yang ditempati Muchid ini adalah sekitar 12 meter persegi sehingga pria yang berlatar pendidikan SMA jurusan Biologi ini harus mau tidak mau menyiapkan dana seharga motor bebek, yaitu Rp. 12.000.000. Wow, sungguh angka yang menyilaukan sekaligus menantang bagi pengusaha warung giras ini.
             
          Demi menjawab tantangan untuk membeli lahan seluas sekitar 12 meter persegi tadi, pria yang sekarang ini terlihat lebih gemuk ini harus berjuang keras bagaimana usaha warung giras yang didirikan berdekatan dengan gerobak sampah ini dapat menghasilkan laba yang lebih besar. Muchid akhirnya memutuskan untuk meminjam dana ke salah satu bank BUMN di Surabaya guna melengkapi kekurangan dana.
            Untuk membayar tagihan bank, Muchid minta bantuan kepada beberapa keluarganya yang bisa dimintai pinjaman uang. Dengan meminjam uang sebesar Rp. 12.000.000 kepada beberapa keluarganya, Muchid merasa lebih mudah untuk membayar dari pada harus langsung berususan dengan pihak bank yang sangat disiplin alias tidak ada toleransi layaknya dalam ikatan kekuarga.Dengan ini,Muchid tinggal memiliki tanggungan hutang kepada keluarganya yang mana bisa terselesaikan sambil menjalankan usahanya.

   Merasa terlalu lama jika membayar hutang kepada beberapa keluarganya tadi dengan menunggu tabungan dari laba usahanya, pria yang dikenal ramah dan humoris ini dengan berat hati harus merelakan motor kesayangannya dijual. Motor satu – satunya tadi berhasil dijual dan mendapatkan uang sekitar delapan juta ripiah. Sungguh sebuah nafas yang melegakan bagi Muchid. Akhirnya, ia bisa mencicil delapan juta rupiah untuk membayar tanah yang dipakai usahanya. Hal ini menyebabkan kobaran semangat untuk bisa membeli motor dan melunasi hutang uang tanah semakin membara. Sesampainya pada tahun 2009, Muchid bisa melunasi hutang kepada beberapa keluarganya yang telah berbaik hati memberikan bantuan dana untuk kesuksesan usahanya. Usaha warung giras yang didirikan dengan susah payah pada tahun 2004 itu pun juga kian berkembang. Muchid mampu memperbanyak barang dagangan, mendapatkan sponsor yang mendongkrak pengahasilan warung girasnya.

Mozaik Keberhasilan yang Terpelihara

  Sekitar empat tahun yang lalu, tepatnya pada tahun 2009 adalah tahun dimana Muchid merasakan mulai merasakan masa keemasan dalam usahanya. Warung giras yang seringkali dianggap sebagai usaha kaum kelas bawah ini menuntut keterampilan manajemen. Kegigihan yang dimiliki Cak Muchid, membuatnya terampil dalam memaknai pengalaman demi pengalaman. Kini, ia mampu memberikan hasil yang begitu menjanjikan. Berawal dari pengahasilan Rp. 100.000/ hari hingga Rp. 700.000/ hari sampai pada akhirnya Muchid mendapati pendapatan kotor Rp. 3.000.000/ hari dengan pendapatan bersih rata – rata Rp. 700.000/ hari adalah hasil dari pada perjuangan gigih yang sering kali banyak halangan yang menghadang.

Keberhasilan yang dicapai Muchid sehingga saat ini ia mempunyai dua karyawan dengan gaji Rp. 1.500.000/ bulan, 1 karyawan dengan gaji Rp. 700.000/ bulan serta bisa membeli seekor sapi untuk disembelih pada waktu hari raya Qurban adalah sebuah keberhasilan di atas rata – rata untuk taraf usaha warung kopi. Di balik keberhasilan yang dicapainya kini, ada banyak hal – hal yang sering menggelitik kesabaran pria yang berdomisili di kawasan perbatasan Surabaya – Gresik ini.Pernah suatu ketika ada beberapa pelanggannya yang sengaja hutang dan akhirnya tidak membayar hutang tadi. Bukan main – main, nilai nominal yang sering hilang digondol para pelanggan yang “nakal” tersebut rata – rata diatas lima puluh ribu rupiah. Hal yang sering terjadi ini sering pula dibiarkan oleh Muchid dan juga para karyawannya.Muchid berpikiran hal tersebut semata – mata adalah sedekah kepada orang yang membutuhkan.

Ada pula salah satu penjual warga sekitar warung yang sering menitipkan makanan di warung giras sengaja memberikan laporan jumlah barang yang salah.Sering kali melaporkan ada 100 buah, padahal faktanya hanya ada 80 buah. Tentu kecurangan – kecurangan ini akan mengakibatkan kerugian yang besar jika terus – terusan dibiarkan. Menanggapi hal ini Muchid kembali mempertajam kesabarannya sembari berharap kepada Tuhan, semoga hal tersebut segera usai dan diberi kesadaran pada pelaku – pelakunya.Akhirnya, harapan Muchid dan para karyawannya dijawab Tuhan.Lambat laun kecurangan – kecurang tadi berakhir dan kondisi kembali membaik seperti sedia kala.

Muchid, adalah penjual warung giras yang dikenal sangat ramah, humoris dan gampang mendekatkan diri dengan pelanggan.Bahkan Muchid adalah sosok yang dermawan. Tak jarang beberapa mahasiswa yang menjadi pelanggannya yang tengah kesulitan keuangan untuk membayar uang sewa kos dibantu oleh pria yang dulu dikenal  juara kelas ini. Dengan keberhasilannya sekarang ini tidak lantas Cak Muchid ini berniat untuk berlangganan air PDAM. Muchid justru mempertahan berlangganan airnya kepada air sumur masjid sebelah utara warung girasnya walaupu jelas lebih malal. Jika dihitung – hitung berlangganan air di PDAM per bulannya mungkin hanya akan memakan biaya sekitar Rp. 50.000/ bulan, sedangkan berlangganan air di sumur masjid yang dikirim setiap pagi dan petang ini memakan biaya Rp. 600.000/ bulan. Demikian halnya dengan berlangganan es baru di penjual es batu keliling akan lebih dipertahan Muchid dari pada ia harus membeli Freshzer, meskipun saat ini ia mampu membelinya. “Itung – itung sambil sedekah”, tambahnya.

Pria yang kini telah mempunyai 1 putri ini dalam hal lahan pun masih sempat berbagi dengan warga sekitar. Dipakainya area parkir pengunjung warung giras untuk jualan bakso, soto daging, dan nasi goreng oleh orang – orang yang bahkan tidak ia kenal, kelihatannya akan mengurangi minat pengunjung warung giras karena tidak tersedianya area parkir. Namun hal ini justru kebalikannya, orang – orang yang berkunjung ternyata malah semakin ramai dengan dilengkapinya aneka pilihan menu di warung giras tersebut. Seperempat lebih stan warung giras milik Muchid ini digunakan untuk jualan salah satu pelanggan lamanya yang ingin juga membuka usaha, yaitu warung nasi tempe penyet.

Secara tidak langsung, dengan berdekatannya warung – warung tadi akan membentuk sebuah hubungan timbal – balik atau simbiosis. Hubungan seperti ini bisa kita katakana sebagi simbiosis mutualisme yang mana merupakan sebuah hubungan yang saling menguntungkan. Ketika pelanggan yang hendak mencari dan membeli nasi goreng, bakso, soto atau nasi tempe penyet, maka warung giras akan menyediakan minuman segar aneka rasa.

Muchid mungkin bisa dikatakan sebagai pengusaha yang dengan tegas menerapkan sistem perekonomian yang berlandaskan kekeluargaan. Muchid sendiri begitu anti dengan sistem kapitalis yang semakin menjadikan individualisme semakin terlihat tajam. Pria yang dulu sempat meneteskan air mata takkala rombong warungnya digusur oleh Satpol PP ini menyadari betapa tidak mengenakkannya bila perekonomian itu tak terjalani dengan nafas kekeluargaan yang penuh dengan hamburan kepedulian terhadap sesama. Dalam praktiknya, Muchid dan karyawan – karyawannya begitu menaruh kepercayaan terhadap orang – orang disekitarnya. Tak peduli dia pelanggan baru atau lama. Sehingga sangat jarang mereka untuk menghitung detail jumlah barang dagangan yang dititipkan oleh orang – orang sekitarnya, Muchid dan karyawan – karyawannya sangat percaya bahwa mereka adalah orang – orang yang dapat dipercaya.

Warung giras binaan Muchid ini adalah bukti kesuksesan usaha masyarakat kelas bawah yang sering kali dipandang sebelah mata. Manajemen yang berlandaskan kekeluargaan ini sudah dibuktikan keampuhannya oleh Muchid yang kini berpenghasilan sekitar Rp. 21.000.000 per – bulan dari usaha warung giras. Kehidupan warung giras yang 24 jam non – stop kemudian dikombinasikan dengan sistem manajemen berasaskan kekeluargaan, maka bukan hal yang mustahil usaha warung giras yang identik dengan lingkungan kumuh ini akan senantiasa berkembang dan bertahan. Bukan juga hal yang tidak mungkin jika dalam waktu dekat, usaha warung giras akan dilirik banyak investor. Bagi warung – warung kopi atau para pengusaha muda maupun tua, tirulah ketulusan Cak Muchid!.  Warung giras is never dies!