Warung Giras “Muchid” is Never Dies
Sore
itu pada bulan Agustus 2011 sekitar pukul
18.00 WIB , Surabaya mulai kembali ditinggalkan mentari dan
digantikan dengan gelap yang kala itu bukannya sang rembulan yang menyapa namun
rintik hujan yang kian deras menyerbu. Di
antara kemercikcanda rintik hujan, terdengar keramaian senda gurau orang –
orang yang duduk santai di sebuah warung yang terletak di kawasan Jojoran I
Kota Surabaya.
Di temani
segelas es teh dan sebatang rokok, mereka terlihat begitu asyik bercengkrama
dengan bebas, lepas tanpa beban dan tak terlewatkan kata – kata dancok dan gathel yang kerap terdengar. Nampaknya,
rintik hujan yang kian deras semakin membuat cangkru’an di warung dekat gerbang Jojoran Asri itu semakin mantap.
Warung yang ramai
pengunjung tadi akhirnya membuatku tertarik untuk menghampirinya dari pada langsung pulang ke kos. Sembari menunggu alunan rintik
hujan berakhir, aku putuskan untuk memesan teh hangat seharga seribu rupiah. Kebetulan, waktu itu aku bersama teman – temanku
yang juga memesan segelas teh hangat. Tatkala menunggu
pesanan teh hangat, aku memerhatikan deretan
menu – menu makanan di warung itu. Terdapat macam – macam makanan dari yang
kecil atau makanan ringan, berbagai minuman rasa hingga nasi bungkus seharga
Rp. 4000 dengan aneka lauk - pauknya. Setelah ku
perhatikan, ternyata nasi bungkus seharga Rp. 4000 itu merupakan menu idola
dari sekian banyak pengunjung terutama mahasiswa, karena memang harga dan
porsinya sesuai dengan kantong anak kos. Berikutnya es teh dan eh josua
(campuran minuman suplemen makanan dan susu fullcream) adalah minuman yang disukai
banyak pengunjung.
Kebanyakan pengunjung dari warung
yang bisa dikatakan sejenis dengan warung kopi ini adalah
laki – laki. Pemiliki serta pelayannya pun
juga seorang laki – laki. Akan tetapi, sesekali juga pernah ku lihat ada
pengunjung wanita.
Wanita yang datang diwarung yang luasnya dua belas meter persegi itu datang
untuk sekedar menemani sang pacar atau suami dan atau mengantarkan makanan
ringan, nasi bungkus untuk dititipakan dan dijual di warung tersebut. Warung
yang dikenal dengan sebutan warung “giras” itu rupanya
adalah warung kopi dimana orang – orang yang datang dari berbagai tingkatan
sosial ada disitu. Mulai dari para buruh (pekerja kasar), mahasiswa hingga
PNS (Pegawai Negeri Sipil). Meskipun warung yang terletak disebelah timur laut
kompleks pemakaman islam dan kristen kawasan Jojoran I ini seringkali terlihat
kumuh yang mana disebabkan lingkungannya yang merupakan lahan kosong yang rawan
digunakan untuk membuang sampah sembarangan, namun hal ini bukan sebuah
halangan untuk mampir di warung giras itu. Warung giras milik Muchid ini begitu
digemari karena selain harga rata – rata menunya relatif murah, warung ini juga
dekat dengan pedagang nasi goreng, bakso, nasi tempe penyet dan soto daging
sehingga tak jarang para pengunjung warung giras sekalian pesan makanan pada pedagang
sekitar warung giras itu.
Warung giras binaan Muchid ini
ternyata dalam sehari bisa mendapatkan pendapatan kotor
sekitar tiga juta rupiah dan pendapatan bersih
sekitar Rp. 700.000. Dengan demikian pendapatan bersih rata – rata perbulan
bapak berusia 33 tahun ini mencapai Rp. 21.000.000. Sungguh pendapatan yang
luar biasa bukan, sehingga tak mengherankan jika usaha warung giras ini
mempunyai tiga karyawan yang mana dua di antara mereka digaji masing – masing
Rp. 1.500.000 dan yang satunya Rp. 750.000 setiap bulannya.
Tak
seperti warung kopi biasa. Warung giras yang sepadan dengan warung kopi dimana
erat sekali dengan lingkungan kumuh, masyarakat kelas bawah, hura – hura dan
sering digunakan sebagai tempat minum alkohol. Akan tetapi lain halnya dengan
warung giras milik Muchid ini. Warung giras yang baru saja mendapatkan sponsor
dari salah satu merk rokok terkemuka di Indonesia ini mempunyai banyak
pelanggan lantaran pelayanannya yang bisa dibilang berbeda dengan warung –
warung kopi biasanya. Meskipun bertempat dilingkungan yang lumayan kumuh, namun
warung ini selalu bersih. Ditambah pelayanan yang ramah membuat semakin tak
terpisahkan dengan banyak pelanggan.
Perjuangan keras + Kesabaran
+ Do’a + Good Atitude= Kesuksesan
Warung milik Muchid ini didirikan
pada tahun 2004 dengan modal hanya sekitar seratus ribu
rupiah.
Modal yang minim ini rupanya didapatkan oleh Muchid dari jerih payahnya membuka
warung kopi gerobak pertama di daerah Kedung
Cowek atau sekitar kawasan jemabatan “Suramadu”. Warung kopi gerobak
tersebut rupanya tidak bertahan lama. Muchid yang bersusah payah memulai usaha
warung kopi gerobak, namun pada akhirnya pria kelahiran Gresik 33 tahun lalu
ini harus mengikhlaskan gerobaknya untuk diambil petugas Satpol PP karena masalah ketertiban kota.
Mengingat masih mempunyai tanggung
jawab besar dalam menghidupi keluarganya, bapak satu putri ini membuka warung
kopi alias warung giras kembali. Pak Muchid tergolong seseorang yang selalu
belajar dari sejarah. Pria kelahiran Gresik, 22 Maret 1977 ini benar – benar
bertekad agar kegagalan yang pernah ia lakukan tidak kembali
terulang. Usaha warung giras kali ini, Muchid mulai memperhitungkan asas
legaitas atas warung yang akan dibangunnya ini.Muchid terlebih dahulu mengurus
soal perizinan atas pendirian warung girasnya yang direncanakan akan dibangun di
Kawasan Jojoran 1, yakni sebelah barat toko swalayan. Akhirnya, Muchid berhasil
memperoleh perizinan dari warga setempat, terutama pemilik lahan dan ketua RT
setempat.
Di dapatkannya izin pendirian warung
oleh warga, pemilik lahan dan ketua RT setempat merupakan “lampu hijau” bagi Muchid
yang semakin menumbuhkan semangatnya untuk mendirikan usaha warung giras di
lokasi tersebut. Muchid kembali membuka warung giras dengan modal hanya sekitar seratus ribuan. Dengan bantuan istrinya, Muchid
berharap agar warung ini mampu berjalan lancar, bisa mencukupi segara kebutuhan
keluarganya.
Seiring berjalannya waktu, nampaknya
warung giras yang didirikannya mendapatkan
perhatian warga cukup banyak. Perhatian warga semakin nyata ketika disertai
dengan semakin bertambahnya pelanggan warung girasnya Muchid yang datang silih
berganti, baik tua maupun muda. Kawasan Jojoran 1 Surabaya ini memang merupakan
lokasi yang banyak dikemumuni pelajar dan mahasiswa. Lokasi warung giras Muchid
ini kebetulan dekat dengan SMK’45 Surabaya, SMK Dr.
Soetomo Surabaya, beberapa TK dan SD serta Perguruan Tinggi Negeri, yaitu
Universitas Airlannga (kampus B). Akhirnya, Muchid berhasil mendapatkan
pendapat yang rutin guna mencukupi kebutuhan keluarganya. Setidaknya, ada
sekitar seratus ribu rupiah untuk setiap
harinya, dan Muchid bisa mengambil keuntungan
bersih sekitar tiga puluh ribuan. Pendapatan
tersebut merupakan hasil dari warung giras yang telah beroperasi selama kurang
– lebih 1 bulan. Muchid merasa sangat bersyukur, setidaknya harapan untuk
mengembangkan usahanya semakin tebuka.
Beberapa bulan kemudian, warung yang
didirikan Muchid tersebut mulai menunjukkan penurunan dari jumlah pelanggan
yang biasanya mampir ke warung yang berukuran sekitar dua belas
meter persegi itu. Muchid pun mulai merasakan dampakanya, yakni penurunan
pengahasilan setiap hari. Muchid dan istrinya merasa semakin hari jumlah
pelanggan bukannya semakin bertambah melainkan semakin sedikit. Akhirnya, Muchid
menemukan apa yang menjadi “biang kerok” menurunnya pelanggan warung girasnnya
tadi. Ternyata, angkringan atau
tempat cangkruk para pelanggan dan
warga sekitar yang terdapat di samping kiri warung girasnya tersebut mulai
disalah gunakan. Angkringan (sejenis gazebo) yang pada awalnya digunakan untuk
berkumpul dan bercengkrama para pelanggan dan warga setempat kini digunakan
sebagai tempat untuk berpesta miras pada hari – hari tertentu. Pesta miras yang
sering dilakukan para pemuda “beradalan” di
tempat cangkruk ini sering kali
meresahkan warga sekitar, terutama di malam minggu. Fenomena ini rupanya
mempengaruhi para pelanggan warung giras Muchid. Para pelanggan menjadi enggan
untuk mampir, karena merasa terusik atau tidak nyaman bila
berdekatan dengan orang – orang yang berpesta miras.
Setelah Muchid mengetahui akan hal
tersebut, pria berjenggot tebal ini tidak serta - merta memindahkan warung giras
yang baru didirikannya. Muchid pada walnya membiarkan hal itu terjadi, ia
berharap pesta miras yang sangat ramai ketika malam minggu itu bisa berhenti
dengan sendirinya. Namun, kesabarannya semakin diuji. Lambat
laun, Muchid tidak sabar untuk menunggu. Ia tidak sabar dengan perilaku para
pemuda yang sering pesta miras di dekat warung girasnya tadi yang dirasa tak
kunjung berakhir. Penghasilan warung yang semakin menurut, sementara kebutuhan
hidup keluarga Muchid kian menggunung. Muchid pun
berpikir sebijak mungkin bagaimana memberikan solusi atas persoalan ini.
Akhirnya, Muchid pun memutuskan untuk membuka cabang warung giras baru.
Keputusan Muchid kali ini sepintas terlihat aneh alias diluar nalar. Pasalnya,
warung yang baru didirikannya tersebut tergolong warung yang hampir merugi,
namun justru sang pemilik warung akan membuka cabang baru.
Keputusan Muchid ini ternyata mengandung
maksud cerdik yang tersembunyi.
Maksud udang di balik batu ini terpaksa dilakukan Muchid dengan segera, agar
tidak memberikan kesan buruk bagi pelanggannya yang termasuk orang yang kerap
kali berpesta miras di dekat warungnya. Intinya, Muchid tidak ingin ada kesan
“marah” dengan pelanggannya tadi. Ia berharap, agar tetap terjalin silaturrahmi
tanpa harus mengorbankan usahanya sendiri.
Sebelumnya, diam – diam Muchid
memperhatikan kawasan lahan kosong di dekat kompleks pemakaman kristen dan
islam di dekat pintu masuk Jojoran 1 Asri – Surabaya. Penilaian Muchid terhadap
tempat itu kiranya sangatlah tepat jika didirikan sebuah warung giras. Lokasi
yang direncanakanMuchid tadi merupakan lokasi yang berdekatan dengan kawasan
kos (rumah sewa) mahasiswa Universitas Airlangga, Masjid dan TPQ Jannatul Ma’wa, SMK’45 Surabaya, SMA Muhammadiyah Surabaya serta TK dan Playgroub. Lokasi
yang demikian ini sangat dimungkinkan akan mendapatkan pelanggan atau konsumen
banyak.
Sehubungan dengan rencana Muchid
untuk membuka cabang di lokasi tersebut, seperti pada waktu akan mendirikan
warung giras di sebelah barat swalayan tadi, Muchid
segera mengurus perizinan pendirian warung giras pada
pemilik lahan, warga dan ketua RT setempat. Muchid
yakin dengan diurus dan diselesaikannya
perizinan pendirian warung tadi, maka akan semakin memudahkan langkah usahanya
mendirikan dan menjalankan warung girasnya nanti. Dan akhirnya, Muchid pun
kembali mendapatkan izin dari warga dan ketua RT setempat serta pemilik lahan.
Kebetulan pemilik lahan tersebut berdomisili di Kota Malang, namun Muchid tak
perlu jauh – jauh ke Malang, karena sudah ada perwakilan atau penjaga lahan
tersebut yang tinggal tepat di gang sebelah utara lahan kosong tadi. Dengan di
dapatkannya perizinan tadi, Muchid semakin mantap dan yakin untuk memulai usaha
baru di kawasan lahan dekat gerbang gang Jojoran 1 Asri – Surabaya.
Selanjutnya, Muchid
kembali merancang kisaran dana untuk modal yang hendak didirikannya yang mana berjarak
kurang lebih setengah kilometer sebelah timur dari warung girasnya yang lama.
Pria yang mengaku menyesal tidak bisa lanjut kuliah ini sepertinya akan
menyiapkan modal yang lebih besar dari modal sebelumnya. Muchid sangat yakin
pada rencana usaha warung giras yang baru ini akan membawa untung besar karena
bertempat yang tak kalah strategis dari tempat sebelumnya. Setelah berbagai
usaha, pria yang akrab disapa Cak Moked
oleh para pelanggannya ini akhirnya bisa menyiapkan dana sekitar dua ratus
ribuan atau dua kali lipat dari modal – modal untuk mendirikan warung giras
sebelumnya.
Pria usia 33 tahun ini akhirnya
mendapatkan simpati yang baik dari masyarakat sekitar lokasi warung giras
barunya ini. Pada hari pertama buka warung yang menyediakan aneka minuman buah
ini bisa menghasilkan pendapatan sekitar tujuh puluh ribuan. Penghasilan tadi
merupakan penghasilan bersih dan Muchid pun terpacu semangatnya untuk lebih
memberikan pelayanan yang semakin baik dari hari ke hari kepada pelanggan –
pelanggan barunya.Sampai pada satu bulan selanjutnya.“Alhamdulillah” semakin menunjukkan kemajuan sedikit demi sedikit”, ujarnya.
Akhirnya perjalanan
Muchid dalam menjalankan usaha warung giras di dekat gerbang pintu masuk
Komplek Jojoran Asri ini memasuki semester pertama. Sesuai dugaan Muchid,
warung yang dimodali dua kali lipat dari modal warung giras sebelumnya ini
mampu menyedot perhatian masyarakat yang tak hanya disekitar warung tadi, namun
lebih luas lagi. Banyak para mahasiswa Unair yang tempat kosnya bahkan jauh
dari warung giras “Muchid” berbondong – bondong mampir ke warung tersebut.
Mereka beranggapan, warung giras milik Pria yang bukan berasal dari Surabaya
ini memang beda. Warung ini lebih baik pelayanannya, bersih dan lebih lengkap
menunya.
Melihat perkembangan
dari usaha barunya ini, Muchid rupanya telah meraup untung yang lumayan. Kemudian
Muchid berencana membeli tanah milik orang Malang yang mana digunakan untuk
membuka warung girasnya itu. Pendapatan dari warung giras yang baru ini
meskipun tergolong lebih besar dari warung sebelumnya, namun ternyata belum
bisa untuk membenyar penuh atau separuh dari harga tanah yang ditempatinya
tadi. Tanah yang digunakan Muchid ini dipatok harga oleh sang pemilik sebesar
satu juta rupiah per meter. Sementara luas tanah yang ditempati Muchid ini
adalah sekitar 12 meter persegi sehingga pria yang berlatar pendidikan SMA
jurusan Biologi ini harus mau tidak mau menyiapkan dana seharga motor bebek,
yaitu Rp. 12.000.000. Wow, sungguh angka yang menyilaukan sekaligus menantang
bagi pengusaha warung giras ini.
Demi menjawab tantangan
untuk membeli lahan seluas sekitar 12 meter persegi tadi, pria yang sekarang
ini terlihat lebih gemuk ini harus berjuang keras bagaimana usaha warung giras
yang didirikan berdekatan dengan gerobak sampah ini dapat menghasilkan laba
yang lebih besar. Muchid akhirnya memutuskan untuk meminjam dana ke salah satu
bank BUMN di Surabaya guna melengkapi kekurangan dana.
Untuk membayar
tagihan bank, Muchid minta bantuan kepada beberapa keluarganya yang bisa
dimintai pinjaman uang. Dengan meminjam uang sebesar Rp. 12.000.000 kepada
beberapa keluarganya, Muchid merasa lebih mudah untuk membayar dari pada harus
langsung berususan dengan pihak bank yang sangat disiplin alias tidak ada
toleransi layaknya dalam ikatan kekuarga.Dengan ini,Muchid tinggal memiliki tanggungan hutang kepada keluarganya yang mana
bisa terselesaikan sambil menjalankan usahanya.
Merasa terlalu lama jika membayar hutang kepada beberapa keluarganya
tadi dengan menunggu tabungan dari laba usahanya, pria yang dikenal ramah dan
humoris ini dengan berat hati harus merelakan motor kesayangannya dijual. Motor
satu – satunya tadi berhasil dijual dan mendapatkan uang sekitar delapan juta
ripiah. Sungguh sebuah nafas yang melegakan bagi Muchid. Akhirnya, ia bisa
mencicil delapan juta rupiah untuk membayar tanah yang dipakai usahanya. Hal
ini menyebabkan kobaran semangat untuk bisa membeli motor dan melunasi hutang
uang tanah semakin membara. Sesampainya pada tahun 2009, Muchid bisa melunasi
hutang kepada beberapa keluarganya yang telah berbaik hati memberikan bantuan
dana untuk kesuksesan usahanya. Usaha warung giras yang didirikan dengan susah
payah pada tahun 2004 itu pun juga kian berkembang. Muchid mampu memperbanyak
barang dagangan, mendapatkan sponsor yang mendongkrak pengahasilan warung
girasnya.
Mozaik Keberhasilan yang
Terpelihara
Sekitar empat tahun yang lalu, tepatnya pada tahun 2009 adalah tahun
dimana Muchid merasakan mulai merasakan masa keemasan dalam usahanya. Warung
giras yang seringkali dianggap sebagai usaha kaum kelas bawah ini menuntut
keterampilan manajemen. Kegigihan yang dimiliki Cak Muchid, membuatnya terampil dalam memaknai pengalaman demi
pengalaman. Kini, ia mampu memberikan hasil yang begitu menjanjikan. Berawal
dari pengahasilan Rp. 100.000/ hari hingga Rp. 700.000/ hari sampai pada
akhirnya Muchid mendapati pendapatan kotor Rp. 3.000.000/ hari dengan pendapatan
bersih rata – rata Rp. 700.000/ hari adalah hasil dari pada perjuangan gigih
yang sering kali banyak halangan yang menghadang.
Keberhasilan yang dicapai Muchid sehingga saat ini ia mempunyai dua
karyawan dengan gaji Rp. 1.500.000/ bulan, 1 karyawan dengan gaji Rp. 700.000/
bulan serta bisa membeli seekor sapi untuk disembelih pada waktu hari raya
Qurban adalah sebuah keberhasilan di atas rata – rata untuk taraf usaha warung
kopi. Di balik keberhasilan yang dicapainya kini, ada banyak hal – hal yang
sering menggelitik kesabaran pria yang berdomisili di kawasan perbatasan
Surabaya – Gresik ini.Pernah suatu ketika ada beberapa pelanggannya yang
sengaja hutang dan akhirnya tidak membayar hutang tadi. Bukan main – main,
nilai nominal yang sering hilang digondol para pelanggan yang “nakal” tersebut
rata – rata diatas lima puluh ribu rupiah. Hal yang sering terjadi ini sering
pula dibiarkan oleh Muchid dan juga para karyawannya.Muchid berpikiran hal
tersebut semata – mata adalah sedekah kepada orang yang membutuhkan.
Ada pula salah satu penjual warga sekitar warung yang sering menitipkan
makanan di warung giras sengaja memberikan laporan jumlah barang yang
salah.Sering kali melaporkan ada 100 buah, padahal faktanya hanya ada 80 buah.
Tentu kecurangan – kecurangan ini akan mengakibatkan kerugian yang besar jika
terus – terusan dibiarkan. Menanggapi hal ini Muchid kembali mempertajam
kesabarannya sembari berharap kepada Tuhan, semoga hal tersebut segera usai dan
diberi kesadaran pada pelaku – pelakunya.Akhirnya, harapan Muchid dan para
karyawannya dijawab Tuhan.Lambat laun kecurangan – kecurang tadi berakhir dan
kondisi kembali membaik seperti sedia kala.
Muchid, adalah penjual warung giras yang dikenal sangat ramah, humoris
dan gampang mendekatkan diri dengan pelanggan.Bahkan Muchid adalah sosok yang
dermawan. Tak jarang beberapa mahasiswa yang menjadi pelanggannya yang tengah
kesulitan keuangan untuk membayar uang sewa kos dibantu oleh pria yang dulu
dikenal juara kelas ini. Dengan
keberhasilannya sekarang ini tidak lantas Cak
Muchid ini berniat untuk berlangganan air PDAM. Muchid justru mempertahan berlangganan
airnya kepada air sumur masjid sebelah utara warung girasnya walaupu jelas
lebih malal. Jika dihitung – hitung berlangganan air di PDAM per bulannya
mungkin hanya akan memakan biaya sekitar Rp. 50.000/ bulan, sedangkan
berlangganan air di sumur masjid yang dikirim setiap pagi dan petang ini
memakan biaya Rp. 600.000/ bulan. Demikian halnya dengan berlangganan es baru
di penjual es batu keliling akan lebih dipertahan Muchid dari pada ia harus
membeli Freshzer, meskipun saat ini ia
mampu membelinya. “Itung – itung sambil sedekah”, tambahnya.
Pria yang kini telah mempunyai 1 putri ini dalam hal lahan pun masih
sempat berbagi dengan warga sekitar. Dipakainya area parkir pengunjung warung
giras untuk jualan bakso, soto daging, dan nasi goreng oleh orang – orang yang bahkan
tidak ia kenal, kelihatannya akan mengurangi minat pengunjung warung giras
karena tidak tersedianya area parkir. Namun hal ini justru kebalikannya, orang
– orang yang berkunjung ternyata malah semakin ramai dengan dilengkapinya aneka
pilihan menu di warung giras tersebut. Seperempat lebih stan warung giras milik
Muchid ini digunakan untuk jualan salah satu pelanggan lamanya yang ingin juga
membuka usaha, yaitu warung nasi tempe penyet.
Secara tidak langsung, dengan berdekatannya warung – warung tadi akan
membentuk sebuah hubungan timbal – balik atau simbiosis. Hubungan seperti ini
bisa kita
katakana sebagi simbiosis mutualisme yang mana
merupakan sebuah hubungan yang saling menguntungkan. Ketika pelanggan yang
hendak mencari dan membeli nasi goreng, bakso, soto atau nasi tempe penyet,
maka warung giras akan menyediakan minuman segar aneka rasa.
Muchid mungkin bisa dikatakan sebagai
pengusaha yang dengan tegas menerapkan sistem perekonomian yang berlandaskan
kekeluargaan. Muchid sendiri begitu anti dengan sistem kapitalis yang semakin
menjadikan individualisme semakin terlihat tajam. Pria yang dulu sempat
meneteskan air mata takkala rombong warungnya digusur oleh Satpol PP ini
menyadari betapa tidak mengenakkannya bila perekonomian itu tak terjalani
dengan nafas kekeluargaan yang penuh dengan hamburan kepedulian terhadap sesama.
Dalam praktiknya, Muchid dan karyawan – karyawannya begitu menaruh kepercayaan
terhadap orang – orang disekitarnya. Tak peduli dia pelanggan baru atau lama.
Sehingga sangat jarang mereka untuk menghitung detail jumlah barang dagangan
yang dititipkan oleh orang – orang sekitarnya, Muchid dan karyawan –
karyawannya sangat percaya bahwa mereka adalah orang – orang yang dapat
dipercaya.
Warung giras binaan Muchid ini adalah bukti kesuksesan usaha masyarakat
kelas bawah yang sering kali dipandang sebelah mata. Manajemen yang
berlandaskan kekeluargaan ini sudah dibuktikan keampuhannya oleh Muchid yang
kini berpenghasilan sekitar Rp. 21.000.000 per – bulan dari usaha warung giras.
Kehidupan warung giras yang 24 jam non – stop kemudian dikombinasikan dengan
sistem manajemen berasaskan kekeluargaan, maka bukan hal yang mustahil usaha
warung giras yang identik dengan lingkungan kumuh ini akan senantiasa
berkembang dan bertahan. Bukan juga hal yang tidak mungkin jika dalam waktu
dekat, usaha warung giras akan dilirik banyak investor. Bagi warung – warung
kopi atau para pengusaha muda maupun tua, tirulah ketulusan Cak Muchid!. Warung giras is never dies!