Memandang Nusantara Memahami
Indonesia Dulu, Kini dan Esok[1]
Oleh:
Mochammad Baihaqi Al Chasan
Masyarakat
Indonesia baru-baru atau mungkin juga sedang berlangsung, diingatkan kembali
akan pentingnya sektor kemaritiman bagi eksistensi NKRI oleh para calon
presiden, Prabowo dan Jokowi. Kedua calon orang nomor satu di Republik
Indonesia ini sering meleparkan wacana-wacana kemaritiman pada saat debat
capres maupun saat kampanye. Urgensi aspek kemaritiman yang dimaksud adalah,
pentingnya NKRI memperhatikan soal kelautan lanataran dihubungkan dengan
perannya sebagai poros maritime dunia. Bagi kalangan akademisi, terutama bidang
sosial-humniora tentu telah menyadari bahwa sejarah nusantara telah membuktikan
betapa letak strategis kepulauan nusantara, yakni terletak diantara dua benua
serta dua samudra yang mengantarkan wilayah kepulauan ini menjadi kawasan
perputaran budaya yang amat deras. Hal ini mengakibatkan terpengaruhi dinamika
sosial-ekonomi yang terjadi di kawasan Asia Tenggara ini.
Berbicara
mengenai aspek kemaritiman wilayah Asia Tenggara, Indonesia yang kini menjadi
negara kesatuan adalah bagian penting dalam bahasan ini. Sebagaimana yang
disampaiakan pakar sejarah maritime Indonesia, A.B Lapian, bahwa Indonesia atau
nusantara harus dipahami sebagai lautan yang menampung butir-butir kepulauan,
bukan kepulauan yang dikelilingi lautan (A.B Lapian, 2011). Konsep ini jelas
mengantarkan kita pada sebuah pemahaman (baru) dalam memahami arti negara kesatuan
Indonesia. Pulau-pulau ini bersatu dalam satu papan lautan yang satu.
Pada
kesempatan kali ini, penulis mencoba menggarisbawahi apa yang disampaiakan
apakar sejarah maritime Indonesia ini dalam hal bagaimana memandang dan
memahami Indonesia yang berpulau-pulau, beraneka budaya dan suku bangsa ini
menjadi sebuah kesatuan yang utuh, yakni dalam bingkai sebuah negara kesatuan,
dalam sebuah cara pandang yang berbeda. Penulis kali ini juga akan mencoba
menguraiakan pandangannya dalam sebuah proyeksi kekinian, yakni tentang apa dan
bagaimana memandang Indonesia dari sudut pandang kebaharian di era kini.
Sebagai
tulisan tanggapan atas sebuah karya terdahulu, yakni temuan dan pandangan A.B
Lapian dalam hal kemaritima di Indonesia, penulis akan memaparkan terlebih
dahulu bagaimana awal mula sang pakar kemaritiman Indonesia ini melihat sebua
permasalahan maritime. Pertama, studi
sejarah Indonesia banyak didahului dengan analisa-analisa yang muncul dari
kawasan daratan saja, sehingga seakan tidak ada sangkut-pautnya dengan dataran
pulau satu dengan pulau lainnya yang dihubungkan oleh lautan tersebut. Dalam
hal ini, penulis sependapat dengan A.B Lapian bahwa sejarah yang terfokus dalam
aktifitas manusia di daratan ini mengabaikan sektor laut yang menjembatani aliran
dinamika budaya yang ada. Kedua, penulis
juga sependapat bahwa pandangan A.B Lapian terhadap dinamika kemaritiman di
nusantara tidak hanya dimainkan atau memainkan dinamika kehidupan manusia di
daratan, melaian ada pihak lain yang tak kalah sentral perananya, yakni orang
laut, bajak laut dan raja laut.
Dua
poin penting yang disorot penulis di atas adalah sebuah kegelisahan yang
mengantarkan lebih jauh tentang bagaimana memahami dunia maritim sebagai bagian
yang tak terpisahkan dengan dunia dataran dalam memandang serta memahami
Indonesia sebagai negara kesatuan kini. Penulis mendapati adanya sebuah
simpulan besar atas kemaritiman Indonesia berdasarkan analisa historisnya,
yakni peran laut bukan hanya wilayah “diam” melainkan justru wilayah yang
banyak menyumbangkan “keramaian”. Lautan tak hanya dipahami dalam aspek
geografis, yakni meliputi segala kekayaan hayati dan non-hayati di dalamnya,
melainkan dinamika kehidupan manusia di atas dan di sekitarnya. Indonesia
adalah sebuah bangun yang sudut-sudutnya mempunyai konkruenitas dengan wilayah
lautannya.
Argumentasi
di atas, diperkuat dengan paparan bukti oleh A.B Lapian yang berasal dari
fakta-fakta atau temuan-temuan dari penelitian ilmu sosial-humniora, terutama
bidang sejarah dan bahasa (lingusitik). Dalam hal ini, A.B Lapian menyadari
bahwa buti yang ditawarkan bukanlah hal yang menakjubkan sehingga banyak
menyita pengaruh atau berubahan yang signifikan, namun setidaknya didapati
sebuah signal positif bahwa dugaan besar telah terjadi dinamika arus budaya dari
wilayah timur ke barat dimana aspek maritime sangatlah berperan. A.B Lapian
menegaskan pula bahwa zaman ini buka hanya sekedar era perdagangan melainkan
sebuah masa dimana arus persinggungan maupun pertukaran budaya sangatlah kuat. Kurang-lebih begitulah pandangan A.B Lapian
dalam buku bunga rampai, “Ilmu Pengetahuan Budaya dan Tanggung Jawabnya”.
Selebihnya,
pada buku “Orang Laut, Bajak Laut, Raja Laut”, Lapian lebih banyak memporsikan
penelitiannya pada siapakah pihak-pihak “pemain” di dunia laut itu. Lebih
tepatnya, Lapian menjelaskan secara gambling bagaimana kehidupan sosial
kemaritiman di kawasan laut Sulawesi pada kisaran abad ke-19 M. Buku yang
merupakan sebuah disertasi yang disponsori oleh banyak pihak ini, terutama
LIPI, lebih banyak menguraikan bagaimana peran orang-orang laut ini memberikan
banyak pengaruh pada kehidupan darat. Dalam hal ini, Lapian memfokuskan diri
mengapa dan bagaimana campur tangan imperialis atau kolonialis bangsa barat
terhadap kawasan laut nusantara. Uraian ini akan menjelaskan kepada para
pembaca, mengapa batasan temporal yang dipilih adalah kisaran abad ke-19 M yang
rupanya baru pada masa inilah penjajah barat rampung menjinakkan para penguasa
maritim. Lapian menyebutkan bahwa, pangkalan-panglan dagang orang-orang Eropa
memang telah berdiri jauh sebelum masa itu, namun baru pada abad ke-19 M
orang-orang barat bisa menguasai jalur perdagangan (dunia laut) nusantara,
khususnya wilayah pantai Makassar, Laut Jawa, Banda, dan Laut Flores. Pada
titik bahasan inilah, Lapian menguraiakan geliat “peperangan” para penguasa
laut dengan kaum imperialis barat yang ternyata sangat sulit dibandingkan
dengan menjinakkan wilayah darat.
Sebagaimana
yang dituliskan pada paragram sebelumnya, penulis akan mencoba menanggapi hasil
penelitian kemaritiman Indonesia ini dengan beberapa ide-ide untuk masa depan.
Hal ini menjadi bagian penting yang hendak disampaikan, sebab penulis
bernggapan bahwa memang sejarah itu diteliti, dipelajari dan diketahui tiada
lain untuk mengunduh nilai-nilai bijaknya untuk masa depan. Jadi sejarah
sebagai sebuah paradigma yang turut membangun strategi dalam menentukan arah
masa depan.
Berpijak
pada simpulan umum dari apa yang dijabarkan oleh Lapian dalam dua karya
tersebut, penulis berupaya mempikirkan bangunan arah masa depan bagi Indonesia.
Pengalaman masa lalu yang jelas membuktikan aspek maritime memilki peran yang
amat penting dalam mempengaruhi kehidupan manusia di daratan, tentu dalam era
kekinian pun harus pula di pamahi demikian. Pada segi membangun rasa cinta
tanah air atau nasionalisme yang dibangun dari kematangan atas pemahaman
wawasan nasional, maka aspek kemaritiman adalah bab yang sangat vital. Sebab,
mengulang kembali penjelasan pada paragraph sebelumnya, bahwa ibarat manusia,
tulang-tulang adalah kepulauan dan sendi adalah lautannya. Jadi bisa
dipastikan, bukanlah manusia yang berwujud selayaknya manusia jika sendi yang
menghubungkan antar tulang tersebut tidak ada. Bukan Indonesia jika tanpa
wilayah laut atau bahari. Lapian menegaskan konsep ini dengan tinjauan
kebahasaan, yakni dengan mendahulukan penjabaran makna istilah bahari dan
nusantara pada kedua karyanya tersebut.
Masyarakat
Ekonomi ASEAN (MEA) adalah wacana yang “sexy” tengah diperbincangkan publik,
terutama pihak-pihak pemerintah dan pengusaha. Penulis mengambil wacana ini
sebagai sebuah stimulus yang segar dimana sebenarnya hal ini adalah tantangan
Indonesia yang telah ada sedari dulu. Pakar kajian hubungan internasional
ternama dari National University of Singapore (NUS), Khisore Mahbubane telah
banyak menerawang soal potensi Asia sebagai hamisfer baru dunia. Sebuah
tandingan bagi dunia barat yang telah berabad-abad lamanya menjadi kiblat dunia
(Kishore Mahbubane, 2011). Penelitian ini merupakan kelanjutan dari penelitian
sebelumnya mengenai kemampuan orang Asia dalam berpikir, mengurai kecerdasan
orang Asia dalam “menakhlukkan” dunia. Kedua penelitiannya ini dapat kita lihat
bersama dalam konteks kehidupan negara di kawasan ASEAN tentunya.
ASEAN
yang kini dihadapkan dengan tantangan daya saing dari Jepang, Cina dan yang
terakhir adalah India semakin menunjukkan kedinamisannya, terutama dalam geliat
perekonomian. Pada bahasan selanjutnya kali ini akan lebih mengarah pada aspek
perekonomian regional Asia Tenggara. Hal ini disinggung karena penulis mencoba
memberikan refleksi historis mengenai pergerakan budaya yang banyak berisikan
urusan ekonomi. Maksudnya, aktifitas perekonomian terlihat jelas sebagai
tunggangan utama pergerakan budaya di kawasan Asia Tenggara. Di samping itu,
bisa jadi aspek perekonomian lah yang menjadi gerbong utama dalam pandangan
Kishore mengenai potensi orang Asia yang dalam waktu dekat akan menjadi kiblat
dunia menggantikan dunia barat.
Perdagangan
yang terjadi di kawasan negeri di bawah angin, Asia Tenggara dulu sangat
menempatkan medan maritime sebagai penopang perekonomian negara. Medan maritime
yang menjadi lalu-lintas perdagangan internasional ini sangat diperhatikan
karena sekaligus media mendongkrak legitimasi politik negara. Pada era klasik
atau kerajaan misalnya, Sriwijaya yang dikenal sebagai kerajaan maritim karena
prestasinya dalam menguasai pelabuhan-pelabuhan dengan cara membangun dan
membentuk fasilitas perdagangan internasional yang “nyaman”, seperti
meningkatkan jaminan keamanan dalam berdagang dengan memperkuat armada laut
(Ricklef, 2010).
Saat
ini, optimalisasi kawasan maritim sebagai medan lalu-lintas perdagangan
internasional di Indonesia menjadi kalah “pamor” dengan adanya potensi baru
yakni kekayaan dalam laut, baik hayati mapun non-hayati. Tak mengherankan jika
eksploitasi sumber daya ini bergitu laris sehingga banyak bermunculan kerusakan
alam. Memang benar dalam konteks kekinian, pihak-pihak orang laut, bajak laut
dan raja laut sebagaimana yang dipaparkan Lapian tidak lagi ada. Akan tetapi,
penulis mencoba kembali memaparkan beberapa potensi yang mungkin dilupakan,
yakni terkait dengan pemberdayaan kembali kawasan maritim sebagai medan dagang
yang mampu memberikan jaminan “kenyamanan”. Jaminan kenyamanan yang dimaksud
mungkin bisa dicontohkan dalam hal keterjaminan informasi medan lautan, terkait
cuaca yang baik, peningkatan kualitas pelabuhan dan pelayanannya serta
informasi dan ketersediaan pasar bagi para pelaku usaha dagang.
Dunia
ilmu pengetahuan dan teknologi kini sangat pesat perkembangannya. Wilayah
bahari Indonesia sudah seharusnya meningkatkan peluang ini untuk membangun
peluang lainnya agar medan maritime terpakai dengan baik dan maksimal, tidak
sebagai tempat pembuangan limbah atau sampah saja dimana sering diberitakan
kini. Sumber daya hayati yang menyediakan potensi alam wisata dan penelitian
serta pengembangan ilmu kelautan juga telah dimiliki negeri seribu pulau ini.
Jadi ini adalah kesempatan yang tak boleh terlewatkan begitu saja.
Indonesia
sebagai bagian dari negara dengan budaya ketimuran yang dikenal halus dan sopan
seharusnya bisa menjadi model pengembangan sistem perdamaian internasional.
Indonesia dengan wilayah geografis yang sedemikian rupa berkesempatan menjadi
pelopor pencipta kedamaian dunia, bisa duduk bersama, bertetangga baik dengan
negara lain. Memandang Indonesia bukan hanya dalam segi wilayah daratan
sebagaimana yang diungkapkan oleh Lapian, maka memang harus mampu memantapkan
semangat persatuan dan kesatuan. Keberbedaan budaya, suku dan ras adalah
kekayaan yang harus dimanajemeni dengan semangat pemahaman wawasan nasional,
termasuk makna wilayah maritim itu sendiri.
Daftar Pustaka
Adrian B. Lapian, 2011. Orang Laut, Bajak Laut, Raja Laut: Sejarah
Kawasan Laut Sulawesi Abad XIX, (Gadjah Mada University Press: Yogyakarta)
Riris K. Toha-Sarumpaet (ed), 2011. Ilmu Budaya dan Tanggung Jawabnya: Analekta
Pemikiran Guru Besar FIB UI,(Universitas Indonesia Press: Jakarta)
Ricklef,
2010. Sejarah Indonesia Modern,
(Gadjah Mada University Press: Yogyakarta)
Kishore Mahbubani, 2011. Asia Hamisfer Baru Dunia: Pergeseran Global
ke Timur yang tak Terelakkan, (Penerbit Kompas: Jakarta)
[1] Sebuah pandangan balasan atas
artikel karya A.B Lapian: Sejarah
Nusantara: Sejarah Bahari dalam buku: Ilmu
Pengetahuan Budaya dan Tanggungjawabnya: Analekta Pemikiran Guru Besar FIB UI
(Riris K. Toha-Sarupaet (ed), 2011, Universitas Indonesia Press: Jakarta) serta
buku: Orang Laut, Bajak Laut, Raja Laut:
Sejarah Kawasan Laut Sulawesi Abad XIX, 2009, Komunitas Bambu: Jakarta)