Senin, 23 Juni 2014

Berbicara Kemaritiman Membahas Indonesia



Memandang Nusantara Memahami Indonesia Dulu, Kini dan Esok[1]
Oleh:  Mochammad Baihaqi Al Chasan
Masyarakat Indonesia baru-baru atau mungkin juga sedang berlangsung, diingatkan kembali akan pentingnya sektor kemaritiman bagi eksistensi NKRI oleh para calon presiden, Prabowo dan Jokowi. Kedua calon orang nomor satu di Republik Indonesia ini sering meleparkan wacana-wacana kemaritiman pada saat debat capres maupun saat kampanye. Urgensi aspek kemaritiman yang dimaksud adalah, pentingnya NKRI memperhatikan soal kelautan lanataran dihubungkan dengan perannya sebagai poros maritime dunia. Bagi kalangan akademisi, terutama bidang sosial-humniora tentu telah menyadari bahwa sejarah nusantara telah membuktikan betapa letak strategis kepulauan nusantara, yakni terletak diantara dua benua serta dua samudra yang mengantarkan wilayah kepulauan ini menjadi kawasan perputaran budaya yang amat deras. Hal ini mengakibatkan terpengaruhi dinamika sosial-ekonomi yang terjadi di kawasan Asia Tenggara ini. 
Berbicara mengenai aspek kemaritiman wilayah Asia Tenggara, Indonesia yang kini menjadi negara kesatuan adalah bagian penting dalam bahasan ini. Sebagaimana yang disampaiakan pakar sejarah maritime Indonesia, A.B Lapian, bahwa Indonesia atau nusantara harus dipahami sebagai lautan yang menampung butir-butir kepulauan, bukan kepulauan yang dikelilingi lautan (A.B Lapian, 2011). Konsep ini jelas mengantarkan kita pada sebuah pemahaman (baru) dalam memahami arti negara kesatuan Indonesia. Pulau-pulau ini bersatu dalam satu papan lautan yang satu.
Pada kesempatan kali ini, penulis mencoba menggarisbawahi apa yang disampaiakan apakar sejarah maritime Indonesia ini dalam hal bagaimana memandang dan memahami Indonesia yang berpulau-pulau, beraneka budaya dan suku bangsa ini menjadi sebuah kesatuan yang utuh, yakni dalam bingkai sebuah negara kesatuan, dalam sebuah cara pandang yang berbeda. Penulis kali ini juga akan mencoba menguraiakan pandangannya dalam sebuah proyeksi kekinian, yakni tentang apa dan bagaimana memandang Indonesia dari sudut pandang kebaharian di era kini.
Sebagai tulisan tanggapan atas sebuah karya terdahulu, yakni temuan dan pandangan A.B Lapian dalam hal kemaritima di Indonesia, penulis akan memaparkan terlebih dahulu bagaimana awal mula sang pakar kemaritiman Indonesia ini melihat sebua permasalahan maritime. Pertama, studi sejarah Indonesia banyak didahului dengan analisa-analisa yang muncul dari kawasan daratan saja, sehingga seakan tidak ada sangkut-pautnya dengan dataran pulau satu dengan pulau lainnya yang dihubungkan oleh lautan tersebut. Dalam hal ini, penulis sependapat dengan A.B Lapian bahwa sejarah yang terfokus dalam aktifitas manusia di daratan ini mengabaikan sektor laut yang menjembatani aliran dinamika budaya yang ada.  Kedua, penulis juga sependapat bahwa pandangan A.B Lapian terhadap dinamika kemaritiman di nusantara tidak hanya dimainkan atau memainkan dinamika kehidupan manusia di daratan, melaian ada pihak lain yang tak kalah sentral perananya, yakni orang laut, bajak laut dan raja laut.
Dua poin penting yang disorot penulis di atas adalah sebuah kegelisahan yang mengantarkan lebih jauh tentang bagaimana memahami dunia maritim sebagai bagian yang tak terpisahkan dengan dunia dataran dalam memandang serta memahami Indonesia sebagai negara kesatuan kini. Penulis mendapati adanya sebuah simpulan besar atas kemaritiman Indonesia berdasarkan analisa historisnya, yakni peran laut bukan hanya wilayah “diam” melainkan justru wilayah yang banyak menyumbangkan “keramaian”. Lautan tak hanya dipahami dalam aspek geografis, yakni meliputi segala kekayaan hayati dan non-hayati di dalamnya, melainkan dinamika kehidupan manusia di atas dan di sekitarnya. Indonesia adalah sebuah bangun yang sudut-sudutnya mempunyai konkruenitas dengan wilayah lautannya.
Argumentasi di atas, diperkuat dengan paparan bukti oleh A.B Lapian yang berasal dari fakta-fakta atau temuan-temuan dari penelitian ilmu sosial-humniora, terutama bidang sejarah dan bahasa (lingusitik). Dalam hal ini, A.B Lapian menyadari bahwa buti yang ditawarkan bukanlah hal yang menakjubkan sehingga banyak menyita pengaruh atau berubahan yang signifikan, namun setidaknya didapati sebuah signal positif bahwa dugaan besar telah terjadi dinamika arus budaya dari wilayah timur ke barat dimana aspek maritime sangatlah berperan. A.B Lapian menegaskan pula bahwa zaman ini buka hanya sekedar era perdagangan melainkan sebuah masa dimana arus persinggungan maupun pertukaran budaya sangatlah kuat.  Kurang-lebih begitulah pandangan A.B Lapian dalam buku bunga rampai, “Ilmu Pengetahuan Budaya dan Tanggung Jawabnya”.
Selebihnya, pada buku “Orang Laut, Bajak Laut, Raja Laut”, Lapian lebih banyak memporsikan penelitiannya pada siapakah pihak-pihak “pemain” di dunia laut itu. Lebih tepatnya, Lapian menjelaskan secara gambling bagaimana kehidupan sosial kemaritiman di kawasan laut Sulawesi pada kisaran abad ke-19 M. Buku yang merupakan sebuah disertasi yang disponsori oleh banyak pihak ini, terutama LIPI, lebih banyak menguraikan bagaimana peran orang-orang laut ini memberikan banyak pengaruh pada kehidupan darat. Dalam hal ini, Lapian memfokuskan diri mengapa dan bagaimana campur tangan imperialis atau kolonialis bangsa barat terhadap kawasan laut nusantara. Uraian ini akan menjelaskan kepada para pembaca, mengapa batasan temporal yang dipilih adalah kisaran abad ke-19 M yang rupanya baru pada masa inilah penjajah barat rampung menjinakkan para penguasa maritim. Lapian menyebutkan bahwa, pangkalan-panglan dagang orang-orang Eropa memang telah berdiri jauh sebelum masa itu, namun baru pada abad ke-19 M orang-orang barat bisa menguasai jalur perdagangan (dunia laut) nusantara, khususnya wilayah pantai Makassar, Laut Jawa, Banda, dan Laut Flores. Pada titik bahasan inilah, Lapian menguraiakan geliat “peperangan” para penguasa laut dengan kaum imperialis barat yang ternyata sangat sulit dibandingkan dengan menjinakkan wilayah darat.
Sebagaimana yang dituliskan pada paragram sebelumnya, penulis akan mencoba menanggapi hasil penelitian kemaritiman Indonesia ini dengan beberapa ide-ide untuk masa depan. Hal ini menjadi bagian penting yang hendak disampaikan, sebab penulis bernggapan bahwa memang sejarah itu diteliti, dipelajari dan diketahui tiada lain untuk mengunduh nilai-nilai bijaknya untuk masa depan. Jadi sejarah sebagai sebuah paradigma yang turut membangun strategi dalam menentukan arah masa depan.
Berpijak pada simpulan umum dari apa yang dijabarkan oleh Lapian dalam dua karya tersebut, penulis berupaya mempikirkan bangunan arah masa depan bagi Indonesia. Pengalaman masa lalu yang jelas membuktikan aspek maritime memilki peran yang amat penting dalam mempengaruhi kehidupan manusia di daratan, tentu dalam era kekinian pun harus pula di pamahi demikian. Pada segi membangun rasa cinta tanah air atau nasionalisme yang dibangun dari kematangan atas pemahaman wawasan nasional, maka aspek kemaritiman adalah bab yang sangat vital. Sebab, mengulang kembali penjelasan pada paragraph sebelumnya, bahwa ibarat manusia, tulang-tulang adalah kepulauan dan sendi adalah lautannya. Jadi bisa dipastikan, bukanlah manusia yang berwujud selayaknya manusia jika sendi yang menghubungkan antar tulang tersebut tidak ada. Bukan Indonesia jika tanpa wilayah laut atau bahari. Lapian menegaskan konsep ini dengan tinjauan kebahasaan, yakni dengan mendahulukan penjabaran makna istilah bahari dan nusantara pada kedua karyanya tersebut.
Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA) adalah wacana yang “sexy” tengah diperbincangkan publik, terutama pihak-pihak pemerintah dan pengusaha. Penulis mengambil wacana ini sebagai sebuah stimulus yang segar dimana sebenarnya hal ini adalah tantangan Indonesia yang telah ada sedari dulu. Pakar kajian hubungan internasional ternama dari National University of Singapore (NUS), Khisore Mahbubane telah banyak menerawang soal potensi Asia sebagai hamisfer baru dunia. Sebuah tandingan bagi dunia barat yang telah berabad-abad lamanya menjadi kiblat dunia (Kishore Mahbubane, 2011). Penelitian ini merupakan kelanjutan dari penelitian sebelumnya mengenai kemampuan orang Asia dalam berpikir, mengurai kecerdasan orang Asia dalam “menakhlukkan” dunia. Kedua penelitiannya ini dapat kita lihat bersama dalam konteks kehidupan negara di kawasan ASEAN tentunya.
ASEAN yang kini dihadapkan dengan tantangan daya saing dari Jepang, Cina dan yang terakhir adalah India semakin menunjukkan kedinamisannya, terutama dalam geliat perekonomian. Pada bahasan selanjutnya kali ini akan lebih mengarah pada aspek perekonomian regional Asia Tenggara. Hal ini disinggung karena penulis mencoba memberikan refleksi historis mengenai pergerakan budaya yang banyak berisikan urusan ekonomi. Maksudnya, aktifitas perekonomian terlihat jelas sebagai tunggangan utama pergerakan budaya di kawasan Asia Tenggara. Di samping itu, bisa jadi aspek perekonomian lah yang menjadi gerbong utama dalam pandangan Kishore mengenai potensi orang Asia yang dalam waktu dekat akan menjadi kiblat dunia menggantikan dunia barat.
Perdagangan yang terjadi di kawasan negeri di bawah angin, Asia Tenggara dulu sangat menempatkan medan maritime sebagai penopang perekonomian negara. Medan maritime yang menjadi lalu-lintas perdagangan internasional ini sangat diperhatikan karena sekaligus media mendongkrak legitimasi politik negara. Pada era klasik atau kerajaan misalnya, Sriwijaya yang dikenal sebagai kerajaan maritim karena prestasinya dalam menguasai pelabuhan-pelabuhan dengan cara membangun dan membentuk fasilitas perdagangan internasional yang “nyaman”, seperti meningkatkan jaminan keamanan dalam berdagang dengan memperkuat armada laut (Ricklef, 2010).
Saat ini, optimalisasi kawasan maritim sebagai medan lalu-lintas perdagangan internasional di Indonesia menjadi kalah “pamor” dengan adanya potensi baru yakni kekayaan dalam laut, baik hayati mapun non-hayati. Tak mengherankan jika eksploitasi sumber daya ini bergitu laris sehingga banyak bermunculan kerusakan alam. Memang benar dalam konteks kekinian, pihak-pihak orang laut, bajak laut dan raja laut sebagaimana yang dipaparkan Lapian tidak lagi ada. Akan tetapi, penulis mencoba kembali memaparkan beberapa potensi yang mungkin dilupakan, yakni terkait dengan pemberdayaan kembali kawasan maritim sebagai medan dagang yang mampu memberikan jaminan “kenyamanan”. Jaminan kenyamanan yang dimaksud mungkin bisa dicontohkan dalam hal keterjaminan informasi medan lautan, terkait cuaca yang baik, peningkatan kualitas pelabuhan dan pelayanannya serta informasi dan ketersediaan pasar bagi para pelaku usaha dagang.
Dunia ilmu pengetahuan dan teknologi kini sangat pesat perkembangannya. Wilayah bahari Indonesia sudah seharusnya meningkatkan peluang ini untuk membangun peluang lainnya agar medan maritime terpakai dengan baik dan maksimal, tidak sebagai tempat pembuangan limbah atau sampah saja dimana sering diberitakan kini. Sumber daya hayati yang menyediakan potensi alam wisata dan penelitian serta pengembangan ilmu kelautan juga telah dimiliki negeri seribu pulau ini. Jadi ini adalah kesempatan yang tak boleh terlewatkan begitu saja.
Indonesia sebagai bagian dari negara dengan budaya ketimuran yang dikenal halus dan sopan seharusnya bisa menjadi model pengembangan sistem perdamaian internasional. Indonesia dengan wilayah geografis yang sedemikian rupa berkesempatan menjadi pelopor pencipta kedamaian dunia, bisa duduk bersama, bertetangga baik dengan negara lain. Memandang Indonesia bukan hanya dalam segi wilayah daratan sebagaimana yang diungkapkan oleh Lapian, maka memang harus mampu memantapkan semangat persatuan dan kesatuan. Keberbedaan budaya, suku dan ras adalah kekayaan yang harus dimanajemeni dengan semangat pemahaman wawasan nasional, termasuk makna wilayah maritim itu sendiri.


Daftar Pustaka
Adrian B. Lapian, 2011. Orang Laut, Bajak Laut, Raja Laut: Sejarah Kawasan Laut Sulawesi Abad XIX, (Gadjah Mada University Press: Yogyakarta)
Riris K. Toha-Sarumpaet (ed), 2011. Ilmu Budaya dan Tanggung Jawabnya: Analekta Pemikiran Guru Besar FIB UI,(Universitas Indonesia Press: Jakarta)
Ricklef, 2010. Sejarah Indonesia Modern, (Gadjah Mada University Press: Yogyakarta)
Kishore Mahbubani, 2011. Asia Hamisfer Baru Dunia: Pergeseran Global ke Timur yang tak Terelakkan, (Penerbit Kompas: Jakarta)


[1] Sebuah pandangan balasan atas artikel karya A.B Lapian: Sejarah Nusantara: Sejarah Bahari dalam buku: Ilmu Pengetahuan Budaya dan Tanggungjawabnya: Analekta Pemikiran Guru Besar FIB UI (Riris K. Toha-Sarupaet (ed), 2011, Universitas Indonesia Press: Jakarta) serta buku: Orang Laut, Bajak Laut, Raja Laut: Sejarah Kawasan Laut Sulawesi Abad XIX, 2009, Komunitas Bambu: Jakarta)

Ide Gila Buat Atasi Problem Luar Biasa!



Plasa Bahari (Plasari): Solusi Kesejahteraan Masyarakat Pesisir Indonesia (?)
Oleh: Mochammad Baihaqi Al Chasan
Berbicara mengenai kemaritiman Indonesia sesungguhnya tengah membincangkan soal identitas bangsa Indonesia itu sendiri. Jadi, dalam hal ini bukan sekedar terdapat sangkut-pautnya terhadap kondisi sosial ekonomi sektor maritime, namun  juga ada kaitannya dengan urusan harkat dan martabat bangsa Indonesia di panggung internasional.   Pakar sejarah kemaritiman nusantara, Adrian B. Lapian telah menegaskan dalam bahwa berbicara kebaharian Indonesia adalah berbicara identitas Indonesia itu sendiri. Kepulauan di Indonesia terapung di atas lahan bahari yang kemudian saling menghubungkan antara pulau satu dengan pulau lainnya.
Uraian pengantar pada paragraf di atas adalah sebuah sambungan kalimat yang mengantarkan untuk kembali merenungkan tentang apa dan bagaimana kondisi kemaritiman saat ini. Apabila sejenak menolehkan muka muka kebelakang, analisa historis telah menempatkan aspek kemaritiman sebagai bagian penting dalam membangun budaya nusantara, budaya Indonesia hingga berwujud seperti saat ini. Medan marim telah menjadi saksi besar namun tetap bisu terhadap kejayaan masa lalu dan pihak yang tengah menangisi “kejahatan” manusia kini. Perusakan alam bahari dan lemahnya kesejahteraan masyarakat pesisir, nelayan misalnya. Masyarakat pesisir yang menjadi pihak utama dalam menggali kekayaan alam bahari masih harus menerima “bayaran” yang seringkali tak sebanding dengan biaya hidup yang semakin melejit.
Pada kesempatan kali ini, penulis mencoba memberikan sebuah ide “gila” sebagai respon instan atas problematika sosial-ekonomi masyarakat pesisir yang telah digambarkan secara umum di atas. Penulis menganggapnya sebagai ide “gila” karena memang solusi yang akan diusung sungguh amat membutuhkan banyak bantuan dan partisipasi publik secara penuh, baik pihak pemerintah dan masyarakat sipil pada umunya. Dan mungkin gagasan yang diusulkan ini baru dapat direalisasikan dan terasa manfaatnya pada kurun waktu yang tidak pendek.
Sebagaimana yang telah dipaparkan sebelumnya, bahwa penulis telah mengantarkan kepada pembaca secara umum mengenai gambaran masyarakat pesisir yang hingga kini belum dilihat sebagai masyarakat yang meningkat atau setidaknya terjamin kesejahteraannya sebagaimana masyarakat bukan pesisir. Disparitas atau kesenjangan ekonomi masyarakat pesisir dengan masyarak bukan pesisir kerap kali masih terlihat sangat tajam. Penulis akan mencoba memberikan analisa kesenjangan ekonomi tersebut dengan memfokuskan bahasan masalah pada lingkup ekonomi. Dalam hal ini, penulis melihat adanya masalah yang penting namun seringkali terabaikan, yakni masalah marketing atau sistem pemasaran produk kekayaan alam bahari.
Persoalan manajeman pemasaran produk atau hasil perolehan kekayaan alam bahari ini dilihat oleh penulis sebagai persoalan yang umum dirasakan. Yaitu tentang bagaimana cara memperoleh, mengemas dan memperdagangkannya. Hal inilah yang diperhatikan penulis sebagai persoalan. Persoalan marketing inilah yang kerap kali membuat para pengusaha laut (nelayan, buruh nelayan, petani garam dan rumput laut dll) tidak mendapati harga yang tinggi. Umumnya, baaru pihak ke dua atau ketiga dan seterusnya lah yang kemudian mendapati harga tinggi setelah pihak tersebut berinisiatif untuk mengemas, mempromosikan serta menjual-belikannya dengan baik dan menarik. Mari kita lihat bagaimana kemasan ikan laut, rumput laut yang diperjualbelikan di mall-mall atau super market.
Ide yang diusulkan kali ini sebenarnya sangatlah sederhana, namun sebagaimana yang telah dikatakan sebelumnya bahwa ide ini amat membutuhkan dukungan langsung dan penuh dari segenap masyarakat dan pemerintah. Bisa dibayangkan dengan jelas meski masih diangan-angan tentang bagaimana bila ada pembaharuan sistem perdangan produk kekayaan laut Indonesia yang dimulai dari para nelayan atau pihak produsen serta penadah pertama. Pihak-pihak tersebut diaggap perlu diperioritaskan mengingat mereka lah yang umumnya adalah penduduk pesisir asli.
Lebih jelasnya, penulis mengusulkan kalau bagaimana jika dibentuk semacam plasa atau pusat perbelanjaan setara mall-mall atau super market di tengah kota, mulai dari tipe pembangunan infrastrukturnya berikut fasislitas yang diusungnya. Plasa Bahari ini didirikan dari dan untuk masyarakat Indonesia, maksud spesifiknya adalah bangunan super market kelautan Indonesia ini dikelola dan diisi oleh penduduk atau masyarakat pesisir itu sendiri. Maka dari itu, pihak pemerintah maupun swasta yang mendukung harus siap untuk mempersiapkan sumber daya manusia yang mumpuni dari penduduk pesisir.
Memasuki dalam ranah teknis marketing yang lebih khusus, penulis mengusulkan untuk melibatkan peran perkembangan teknologi informasi yang pesat seperti saat ini. Mobile Culture yang berkembang kini membuat manusia menjalani rutinitasnya dengan dukungan atau bahkan bergantung pada media elektronik (gadget) yang mudah, praktis dan murah pastinya. Mengingat perkembangan sosial media pada masyatakat Indonesia yang sangat tinggi, bisa kita bayangkan jika para ahli sistem informasi misalnya bersedia berinisiatif untuk memciptakan program sosial media semacam lapak dagang yang khusus untuk memasarkan atau mempromosikan produk-produk maritim Indonesia. Mari kita bayangkan bersama jika ada web lapak dagang sebesar dan setenar OLX (tokobagus.com), berniaga.com, elevania.com, lazada.com, kaskus dan sebagainya yang khusus tentang produk-produk kekayaan maritime musantara.
Ide pembangunan super market bagi produk kelautan Indonesia yang diperuntukan dan dari masyarakat pesisir serta penerapan sistem marketing berbasis teknologi informasi adalah sebuah kesatuan gagasan yang sederhana namun tidak sederhana ketika sampai pada ranah implementasi. Ide ini juga sebagai bentuk solusi baru yag mendukung aksi cinta pangan lokal, sebagai salah satu wujud kecintaan pada produk dan karya anak bangsa serta wujud nyata nasionalisme terhadap NKRI.
 
       Gambar 0.1 Ilustrasi Tampilan Home Website Lapak Dagang Produk Maritim Indonesia


Selasa, 23 April 2013



ONE HEART, ONE TARGET ON DA’WAH
Oleh:
Mochammad Baihaqi Al Chasan

Sebagai khalifah bumi yang berkewajiban “memperindah” bumi dengan “warna” keshalihan sudah sepatutnya menjadikan dakwah sebagai gaya hidupnya. Setiap detik, jam, dan hari yang memenuhi umur yang dikaruniai oleh Allah harus senantiasa diisi dengan gerakan-gerakan dakwah yang memancarkan sinar inspirasi kepada setiap manusia. Senantiasa memberikan role of model manusia yang terpuji.
Setiap muslim pasti telah menyadari akan kodrat manusia sebagai “pahlawan” di bumi ini. Namun, sebagai manusia biasa yang banyak kekurangan dan gudangnya kekhilafan. Konsep untuk dakwah kepada umat tidak mungkin mampu mempunyai fokus yang optimal. Maka dari itu, sebagai makhluh Allah yang mempunyai keterbatasan, melakukan dakwah intensif yang dilaksanakan pada satu obyek. Konsentrasi dakwah yang optimal tertuju pada satu obyek da’wah meniscayakan keberhasilan dakwah yang makasimal pula. Selebihnya, manakala keberhasilan yang tinggi pada satu obyek dakwah tersebut dapat memperpanjang rantai pendakwah yang dapat memberikan “pencerahan” kepada rekan-rekannya (obyek dakwah lain).
Konsentrasi pada satu obyek da’wah ini dapat dikemas dengan prosedur pelaksanaan yang efektif. Yaitu dengan menyertakan jadwal dakwah yang berkesinambungan, terus-menerus hingga membuahkan hasil. Selanjutnya, dilakukan dengan banyak metode pendekatan. Pendekatan yang dimaksud adalah dengan pendekatan kekeluargaan, hubungan persahabatan. Seperti, sms atau media sosial-media lainnya yang mendukung dan terjangkau oleh target dakwah tentang peringatan terkait amal sholah; sholat wajib/sunnah, akhlaq, fiqih dan sebagainya. Ikhtiar dakwah melalui media kedua tersebut harus disempurnakan dengan hubungan kekeluargaan yang intensif. Sepert menambah kesempatan untuk bertemu (silaaturrahim). Sekedar untuk ngopi, olahraga bersama dan lain-lain.
Upaya dakwah yang demikian tadi dapat ditingkatkan kadar konsentrasinya dengan memerhatikan apa yang tengah “digelisahkan” oleh target dakwah. Misalnya sang obyek dakwah sedang dilanda pelbagai rupa musibah, kekuranga baik yang secara sadar atau belum dirasakan oleh sang target dakwah. Kemudian sang pendakwah harus segera tanggap dengan responsif, kritis dan solutif dalam memberikan jalan keluar yang berlandaskan syariat islam. Dengan demikian, pencerahan syariat islam yang menjawab permasalahan sang obyek dakwah merupakan “tembakan” dakwah yang InsyaAllah benar-benar meninggalkan makna mendalam baginya.
Oleh sebab itu, cakrawala pengetahuan agama islam bagi seorang pendakwah harus senantiasa dilejitkan. Kebendaharaan wawasan islam yang senantiasa diperbarui adalah sebuah keniscayaan bagi setiap pendakwah. Kekayaan ilmu yang dimikili pendakwah akan memudahkan memberikan solusi-solusi yang “menyegarkan” bagi umat.
Apabila prosedur  dakwah dengan konsep one heart, one target on dakwah dilakukan dengan optimal dan istiqomah, maka melahirkan obyek dakwah yang berkualitas bukanlah hal yang imajiner. Metode ini berkemungkinan besar akan memberikan efek dakwah yang mendalam bagi sang target dakwah. Meninggalkan momen rohani yang berkesan sehinggaa takkan mudah untuk ter (di)lupakan. Juga bukan sebuah kemungkinan yang tidak mendasar tatkala sang obyek dakwah kelak bisa meneruskan atau memperkuat jaringan dakwah untuk memperluas gerakan-gerakan dakwah dibumi ini. Karena hal yang besar bermula dari unsure kecil. Suatu hal yang besar tidaklah disebut besar manakala tumbang salah satu bagian terkecilnya. Semoga barokah!

www.google.com/images/heart to heart



Sabtu, 23 Februari 2013

Essay Pengantar Juara 3 Duel Debat Bahasa "Selamatkan Kretek Selamatkan Indonesia" Tingkat Nasional UKSW Salatiga Jawa Tengah 2013





KRETEKKU HILANG INDONESIAKU MALANG
Oleh:
T. Adi Sampurno, Mochammad Baihaqi Al Chasan,
Hudha Abdul Rohman
UNIVERSITAS AIRLANGGA SURABAYA

Indonesia terkenal dengan sebutan negara kepulauan yang sampai sekarang ini dikagumi kancah internasional. Kekayaan dan kemakmuran negeri martim ini telah tercermin dalam ungkapan sastrawi era Majapahit “gemah ripah loh jinawi, tata tenteram karta raharja”(Ketut Rindjin, 2012; 35). Kekayaan alam yang banyak mengandung pundi – pundi material tambang diperkaya dengan menawannya bentang alam yang elok. Gambaran surga dunia yang dimiliki Indonesia semakin utuh oleh manusia – manusia yang hidup di atasnya dengan beraneka keberagamannya. Multikulturalisme masyarakat Indonesia tersebar indah dari Sabang hingga Merauke yang mana semakin menambah keelokan Ibu Pertiwi di mata dunia. Betapa mewahnya Indonesia ini di mata dunia. Itulah sebabnya, bangsa – bangsa asing banyak berdatangan silih berganti mendatangi negeri kepulauan terbesar di dunia ini. Sejarah panjang Indonesia yang banyak dituliskan baik dengan pahit maupun manis merupakan bukti betapa matangnya pengalaman historis negeri ini untuk sebagai modal utama dalam melangkah, meniti masa depan. Indonesia yang bertanah subur, telah menorehkan sejarah dan mengukir identitas bahwa Nusantara ini telah lama tumbuh dan berkembang di atas perahu kekayaan agraris. Sejarah Indonesia memang tidak bisa jauh dari bergulirnya roda sektor pertanian.
Tumbuh kembangnya Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) dengan berkembang  pesatnya laju pertanian membuatnya dikenal sebagai negara dunia ketiga yang bercorak agraris. Daratan yang dimilikinya mampu menghasilkan komoditi-komodi primadona perdangan internasional sejak dahulu kala. Bermacam rempah-rempah dan sutra sempat menghebohkan dunia perdagangan dunia, termasuk di dalamnya ialah tembakau. Indonesia yang secara geografis dilewati oleh rantai cincin gunung api mempunyai konsekuensi positif bagi tanah yang subur. Hal ini tidak menutup kemungkinan bagi budidaya tembakau yang besar. Dan terbukti, sinyal potensi budidaya tembakau yang dimilki dataran – daratan di Indonesia ditangkap dengan cerdik oleh para penjajah. Kolonial Belanda dengan segenap upaya menjadikan Nusantara sebagai lumbung emas yang ditelurkan dari sektor agraris tembakau. Hingga kini Indonesia dikenal termasuk dalam jajaran negara penghasil tembakau terbesar. Potensi pertanian tembakau di Indonesia membawa dampak positif yakni terdongkraknya perindustrian rokok, terutama kretek. Indonesia memang bukanlah pencetus budaya merokok, namun negeri ini merupakan penghasil bahan rokok yang tidak dapat dipandang sebelah mata. Indutri rokok kretek rupanya telah lama bertengger dan membudaya sejak lebih dari ratusan tahun di kalangan masyarakat Indonesia (Salamuddin Daeng, dkk, 2011; 1). Di kawasan Asia, khususnya Asia Tenggara yang mana termasuk Indonesia, tembakau telah dikonsumsi sebagai obat maupun penyemangat stamina. Dengan berbagai cara dan rupa tembakau dikonsumsi dan telah melekat dalam keseharian masyarakat Indonesia, terutama dalam rutinitas kerja.
Sejak awal abad ke-19, indutri kretek telah mampu berekspansi hingga daratan Eropa. Industri kretek ini telah mampu mengangkat perekonomian nasional di masa depannya. Hingga pada era reformasi, kretek mampu menyumbang pendapatan negara yang tidak sedikit, bahkan dapat melebihi sektor pertambangan. Bayangkan saja dalam sepuluh tahun terakhir, data dari Bank Indonesia tahun 2011 seperti yang dikutip oleh Syamsul Hadi, dkk dalam buku “Kriminalisasi Berujung Monopoli”,  penerimaan cukai dari perindustrian rokok meraih rekor 19,47 % atau mencapai angka 62,75 triliun rupiah. Dengan demikian, jika ditinjau atau dikaji ulang secara seksama, maka akan berujung pada sebuah inferensi bahwa sektor pertambangan dan pertanian, yakni tembakau lebih potensial (Dahris Siregar, dkk, 2011; 3). Indutri rokok Indonesia dan Pertambangan mungkin akan sama – sama menyerap banyak tenaga kerja. Sehingga bisa diperkirakan bahwa kedua sektor ini dapat menekan angka pengangguran. Namun, sektor pertambangan akan banyak menyerap pula modal atau investasi besar untuk proyek – proyek pertambangan. Belum lagi soal dampak lingkungannya yang mana harus senantiasa mendapatkan perhatian agar masalah lingkungan yang menyertainya dapat diatasi dengan tepat.
Berbeda dengan sektor agraris, yakni tembakau. Industri rokok mampu diupayakan hasilnya dengan optimal dengan tidak menyertakan modal atau investasi sebesar sektor pertambangan. Untuk Indonesia, industri rokok dapat dijalankan dengan optimal hanya dengan memakan lahan sekitar 198 ribu hektar. Sementara sektor pertambangan bisa memakan lahan hingga 42 juta hektar (Ahmad Suryono, dkk, 2011; 3). Industri rokok tidak membutuhkan alat-alat dan ahli yang sophisticated dimana merupakan pos anggaran yang banyak membutuhkan aliran dana yang tidak sedikit. Kemungkinan campur tangan banyak investasi asing pun sedikit lebih tertutup dari pada sektor pertambangan. Sektor pertambangan yang diberdayakan oleh pemerintah negara ini masih banyak melibatkan intelektualitas asing yang dikemas dalam proposal investasi asing.
Sementara, sektor industri yang dimaksimalkan di dalam negeri akan banyak menyerap tenaga kerja, tenaga ahli dan perlatan serta perlengkapan yang banyak bisa terjangkau oleh masyarakat Indonesia sendiri. Salamuddin Daeng, dkk, dalam buku “Kriminalisasi Berujung Monopoli” menyertakan data dari International Labour Organization (ILO), menyebutkan bahwa jumlah tenaga kerja yang terlibat langsung dalam industri rokok di Indonesia mencapai angka 10 juta orang (ILO, 2003). Angka ini cukup signifikan dalam menekan angka pengangguran. Jumlah sekian juta ini mencapai 30 persen dari jumlah tenaga kerja sektor formal di Indonesia, atau sekitar 10 persen dari jumlah tenaga kerja secara keseluruhan (Salamuddin Daeng, dkk, 2011; 3). Tanah Indonesia adalah tanah yang telah bersahabat dengan budidaya tembakau. Penduduk Indonesia telah terinternalisasi secara kultural sebuah kebiasaan yang terintegrasi membentuk sebuah peradaban agraris tembakau. Ada banyak cerita tentang tembakau yang melegenda. Secara klasik, sering terdengar cerita sang SPG pertama, Roro Mendut yang menaktualisasikan kepermpuanannya dengan menjadi seorang penjual rokok keliling pertama. Di ranah yang lebih modern, K.H Agus Salim sang Pahlawan bangsa telah mengukir sejarah dengan menertawakan balik orang-orang Eropa yang menertawakannya tatkala menghisap rokok di dalam sebuah forum internasional di Inggris.
Rokok dan manusia Indonesia telah membentuk sebuah ikatan sejarah yang turut memwarnai identitas kejayaan negera seribu pulau ini. Dengan demikian, tidak berlebihan jika rokok kretek merupakan bagian penting dari warisan luhur nenek moyang yang harus dijaga oleh para generasi penerusnya. Isu-isu terkini yang begitu jelas sang generasi penerus memandang sebelah mata kekayaan luhur ini dengan mengatasnamakan banyak fatwa dan pendirian ini dan itu. Sungguh sangat ironi ketika para pengisi kemerdekaan ini tidak dapat memahami dengan arif dan bijak terhadap setiap kekayaan luhur warisan nenek moyang. Para cendekiawan muda negeri ini terlihat dengan seenaknya mengulang, menambal-sulam budaya leluhur hanya karena kepentingan-kepentingan modal dan pengkayaan diri atau golongan. Eksistensi industri rokok kretek yang semakin tersudutkan akibat campurtangan para pembesar negara dengan perjanjian-perjanjian pasar bebas sperti ASEAN – China Free Trade Agreement (CAFTA) dan ASEAN-India. Kedua negara tersebut merupakan competitor utama Indonesia dalam memproduksi kretek. Kebijakan perjanjian tersebut berdampak pada melesunya meningkatnya nilai impor tembakau hingga mencapai 20 ton pertahunnya (Salamuddin Daeng, dkk, 2011; 4).
Di tengah kecaman kebijakan perjanjian dagang internasional, industri kretek kian meredup tatkala kampanye besar “mengharamkan” rokok oleh bayak pihak. Pihak-pihak pemerintah turut mensinergiskan diri dengan pihak-pihak swasta seperti LSM, LBH yang didanai oleh Bank Dunia, untuk mengusir kebiasaan merokok di Republik ini. Belum lagi ditambah dengan serangan-serangan pemerintah pusat maupun daerah yang memberlakukan kebijakan, aturan atau hukum -hukum yang semakin mengikat peredaran kretek di buminya sendiri. Para ahli hukum dan kesehatan seolah terlihat mendiskriminasikan dengan tajam tentang keharaman rokok ini. Mereka seakan mentup segala hal penyebab menurunnya kesehatan.  Tidak ada analisa yang bijak dalam menangani kasus rokok kretek ini. Di tengah gencar-gencarnya poster anti rokok tertempel di banyak dinding bangunan pemerintah dan fasilitas umum negeri ini, para perusahan rokok asing seakan menyusup dengan mulus dan meraup untuk sebab mendapatkan lahan pasar ekonomi yang strategis di Indonesia. Nampaknya, para pengusaha asing mendapatkan sambutan “tangan istimewa” dari para pengambil kebijakan negeri ini.
Indonesia telah merdeka lebih dari lima puluh tahun. Kemapanan pendidikan yang diselenggarakan semakin banyak menghasilkan para cendekiaawan yang semestinya mumpuni dalam menanggapi dan menawarkan solusi strategis untuk permasalahan nasional ini. Namun, sungguh tragis ketika masalah ini justru berangsung-angsur tidak kunjung mereda. Penganggunran dan aksi gulung tikar industri kretek semakin kerap terdengar. Aksi demo buruh kian mencuat ke permukaan lantaran tak terbendung lagi. Mengapa para pembesar bangsa ini seakan kehilangan kecerdasannya tak seperti ketika duduk di bangku pendidikan yang dienyamnya dahulu. Ada apa dengan republik ini? Apakah ada pesona KKN yang bertebaran dalam nadi sanubari para birokrat dan pemimpin NKRI?
Ada dua pertentangan kuat yang mendominasi kasus nasional yang tak kunjung reda ini. Pertama, adanya aksi penolakan rokok dan eksistensi industri rokok nasiol sebab diyakini sebagai biang kerok tersendatnya keberhasilan Millenium Development Goals (MDGs) di Indonesia, khususnya sektor kesehatan. Pihak-pihak yang anti rokok berdalih bahwa kesehatan adalah modal terbesar dalam menjaga estafek kebudayaan bangsa. Dan rokok adalah pembunuh ulung kesehatan dan pemadam intelektualitas anak bangsa. Kedua, pihak anti rokok mendapat serangan penolakan keras dari para pemerhati sosial – budaya dan para petani tembakau dan pengusaha kretek. Mereka mempunyai dalih kuat bahwasannnya mematikan sektor ini hanyak akan mempersuram perekonomian NKRI. Mereka dengan kuat menegaskan bakat dan potensi ekonomi manusia Indonesia tidak lain adalah bertani, termasuk di dalamnya budidaya tembakau penghasil kretek. Selain itu, mereka memperkuat argument dengan analisa historis, bahwa tembakau dan kretek dalah warisan budaya nenek moyang yang harus dijaga bukan sebaliknya.
Permasalahannya, berlarut-larut pertikaian ini terus berlangsung dan bahkan kian menggema tanpa solusi. Tulisan ini mencoba menyemaikan jalan tengah yang mana diharapkan mampu menawarkan solusi paling dirindukan para pakar kesehatan, budayawan, petani dan pengusaha di Indonesia. Alangkah lebih baiknya, solusi atas permasalahan yang tidak enteng ini dipikirkan dengan mendalam. Kedua pihak yang saling bertentagan tidak lantas dihakimi dengan keras pihak ini yang salah dan pihak ini yang benar. Tidak dapat dipungkiri jika memang Indonesia secara historis memang merupakan tanah tembakau yang sejak lama membentuk peradaban yang bersahabat dengan tanaman kaya nikotin ini. Analisa mendalam juga tidak dapat mengingkari bahwa manusia Indonesia telah lama menggantungkan diri di atas roda perekonomian tembakau. Sudah banyak jiwa-jiwa yang bertahan lantaran terkucuri materi dari kegiatan ekonomi bersama tembakau dan kretek.
Selanjutnya, realita yang tidak dapat terfatamorganakan oleh pandangan bahwa penelitian terbarukan memang membuktikan merokok adalah kebiasaan yang merugikan kesehatan. Sudah banyak bermunculan dan terpublikasikan di kalangan khalayak Indonesia bahwa dengan merokok akan memancing perkara kesehatan yang komplek. Memang merupakan sebuah kerangka berpikir yang tak sepenuhnya salah jika dengan menurunnya kesehatan para generasi muda akan berdampak pada menurunnya prestasi bangsa. Namun perlu digaris bawahi bahwa kedua argument tersebut tidak jauh dari layaknya sebuah keyakinan atau agama. Kedua pihak pro maupn kontra mempunyai dasar pemikiran tersendiri yang mana mereka yakini. Perbedaan akan keyakinan tersebut adalah wajar, jadi sebagai penerus bangsa yang intelek dan bijak harus meformulasikan sebuah konsep solusi yang wajar, yakni mengedepankan kepentingan humanis. Mematikan salah satu pihak di atas bagaikan sebuah permainan variabel dalam pelajaran matematika hanyak akan membawa kerusuhan yag tak kuncung redup.  Sebab kebijakan tersebut berawal dari peletakan manusia laksana robot atau benda mati.
Dengan demikian segala kebijakan terkait perindustrian nasional kretek Indonesia harus berpihak pada kedua kubu di atas. Mereka semua perlu diakomodasi apa yang digelisahkan dan apa yang dikehendakkan. Bukankah idealnya, para pemimpin bangsa itu mengayomi dan mendengarkan keluh kesah warganya?. Diperlukan kebijakan yang tepat agar bagaiman kedua belah pihak ini merasa diperhitungkan dan dipenuhi kehendaknya tanpa harus mengeliminasi kepentingan pihak lain. Manusia sejatinya merupakan hewan yang berpikir (animale rational) yang pastinya akan mengerti bagaimana belajar dari pengalaman demi pengalaman. Adapaun jika meraka yang pendukung kretek mengalami apa yang dikhawatirkan oleh mereka yang pro kesehatan, maka sanubari mereka pasti akan berangsur-angsur akan meninggalkan kretek dan juga sebaliknya.
Indonesia masih merupakan negara berkembang yang haus akan pembangunan dan pembangunan. Baik pembangunan intelektual manusianya maupun pembangunan infrastruktur yang mendomplang kemakmuran hidup berbangsa dan benegara. Dengan demikian, jalas bahwa stereotip pemikiran yang menyatakan bahwa kemakmuran terindikasi mutlak oleh kemapanan perut, maka solusi strategis untuk kali ini adalah tetap memperhatikan kemapanan industri rokok kretek nasional. Sebab, mematikan industri turun-temurun ini hanyak akan menambah deretan pengangguran dan kemiskinan. Mengapa demikian karena laju dampak sosial ekonomi terbukti lebih cepat dan besar dampaknya dari pada ancaman-ancaman kesehatan seperti yang dikampanyekan baru-baru ini.
Himpitan sosial ekonomi akan lebih membunuh dari pada himpitan kesehatan yang datang dari batang-batang kretek. Bukti logisnya, ratusan tahun orang-orang Indonesia secara historis mampu bertahan akan ancaman itu dan dengan demikian sebetulnya masyarakat republik ini telah terbiasa mengantitesa dampak-dampak negatif dari rokok itu sendiri. Di samping itu isu globalisasi yang menghangatkan gairah untuk “nguri – ngurio budoyo” seharusnya menjadi lahan empuk yang potensial. Tembakau dan kretek telah menjadi heritage Indonesia yang potensial sebagai wahana konservasi identitas bangsa yang mempunyai implikasi logis sebagai wisata budaya pendongkrak ekonomi nasional.
Dengan ini, dapat dianalisa seksama bahwa mematikan sektor pertanian tembakau yang mensuplai atas kemapanan industri kretek nasional juga secara langsung turut mengikis identitas bangsa dan negara Indonesia. Jika diandingkan dengan ancaman kesehatan yang memprediksikan bahwa manusia bisa mengalami kematian dalam kurun waktu tertentu, maka jika mematikan sektor tembakau ini juga memancing ancaman jangka panjang. Yaitu terkikisnya bagian penting dari identitas bangsa. Apa jadinya jika identitas negera ini dipertanyakan kembali oleh dunia?  Belum ada riset atau bahkan hipotesa sekalipun terkini yang menganalisa bahwa ada korelasi kuat antara merokok yang notabene tidak semua orang merokok dapat merobohkan sebuah negara.
Namun, sudah bayak tersirat dalam lembar sejarah bahwa sebuah negeri dapat dengan mudah rapuh dan akhirnya gulung tikar disebabkan lunturnya identitas nasional yang dibayangkan bersama (imaging communities) seperti yang diungkapkan Anderson. Dapat dicontohkan ialah terpecahnya India – Pakistan, Timor Leste dan sebagainya. Optimalisasi sektor pertanian, terutama tembakau dalam rangka melejitkan pendapatan industri kretek nasiolan, bukanlah sekedar merupakan aksi mengubur kepedulian kesehatan. Dengan solusi ini bukanlah untuk menciptakan labelling bahwa Indonesia adalah negara yang rendah angka kepeduliannya terhadap kesehatan. Pelaksanaan kebijakan semacam ini harus senantiasa dikawal dengan maksimal demi tercapainya harmonisasi seluruh aspek kesejahteraan manusia Indonesia.