Sabtu, 23 Februari 2013

Essay Pengantar Juara 3 Duel Debat Bahasa "Selamatkan Kretek Selamatkan Indonesia" Tingkat Nasional UKSW Salatiga Jawa Tengah 2013





KRETEKKU HILANG INDONESIAKU MALANG
Oleh:
T. Adi Sampurno, Mochammad Baihaqi Al Chasan,
Hudha Abdul Rohman
UNIVERSITAS AIRLANGGA SURABAYA

Indonesia terkenal dengan sebutan negara kepulauan yang sampai sekarang ini dikagumi kancah internasional. Kekayaan dan kemakmuran negeri martim ini telah tercermin dalam ungkapan sastrawi era Majapahit “gemah ripah loh jinawi, tata tenteram karta raharja”(Ketut Rindjin, 2012; 35). Kekayaan alam yang banyak mengandung pundi – pundi material tambang diperkaya dengan menawannya bentang alam yang elok. Gambaran surga dunia yang dimiliki Indonesia semakin utuh oleh manusia – manusia yang hidup di atasnya dengan beraneka keberagamannya. Multikulturalisme masyarakat Indonesia tersebar indah dari Sabang hingga Merauke yang mana semakin menambah keelokan Ibu Pertiwi di mata dunia. Betapa mewahnya Indonesia ini di mata dunia. Itulah sebabnya, bangsa – bangsa asing banyak berdatangan silih berganti mendatangi negeri kepulauan terbesar di dunia ini. Sejarah panjang Indonesia yang banyak dituliskan baik dengan pahit maupun manis merupakan bukti betapa matangnya pengalaman historis negeri ini untuk sebagai modal utama dalam melangkah, meniti masa depan. Indonesia yang bertanah subur, telah menorehkan sejarah dan mengukir identitas bahwa Nusantara ini telah lama tumbuh dan berkembang di atas perahu kekayaan agraris. Sejarah Indonesia memang tidak bisa jauh dari bergulirnya roda sektor pertanian.
Tumbuh kembangnya Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) dengan berkembang  pesatnya laju pertanian membuatnya dikenal sebagai negara dunia ketiga yang bercorak agraris. Daratan yang dimilikinya mampu menghasilkan komoditi-komodi primadona perdangan internasional sejak dahulu kala. Bermacam rempah-rempah dan sutra sempat menghebohkan dunia perdagangan dunia, termasuk di dalamnya ialah tembakau. Indonesia yang secara geografis dilewati oleh rantai cincin gunung api mempunyai konsekuensi positif bagi tanah yang subur. Hal ini tidak menutup kemungkinan bagi budidaya tembakau yang besar. Dan terbukti, sinyal potensi budidaya tembakau yang dimilki dataran – daratan di Indonesia ditangkap dengan cerdik oleh para penjajah. Kolonial Belanda dengan segenap upaya menjadikan Nusantara sebagai lumbung emas yang ditelurkan dari sektor agraris tembakau. Hingga kini Indonesia dikenal termasuk dalam jajaran negara penghasil tembakau terbesar. Potensi pertanian tembakau di Indonesia membawa dampak positif yakni terdongkraknya perindustrian rokok, terutama kretek. Indonesia memang bukanlah pencetus budaya merokok, namun negeri ini merupakan penghasil bahan rokok yang tidak dapat dipandang sebelah mata. Indutri rokok kretek rupanya telah lama bertengger dan membudaya sejak lebih dari ratusan tahun di kalangan masyarakat Indonesia (Salamuddin Daeng, dkk, 2011; 1). Di kawasan Asia, khususnya Asia Tenggara yang mana termasuk Indonesia, tembakau telah dikonsumsi sebagai obat maupun penyemangat stamina. Dengan berbagai cara dan rupa tembakau dikonsumsi dan telah melekat dalam keseharian masyarakat Indonesia, terutama dalam rutinitas kerja.
Sejak awal abad ke-19, indutri kretek telah mampu berekspansi hingga daratan Eropa. Industri kretek ini telah mampu mengangkat perekonomian nasional di masa depannya. Hingga pada era reformasi, kretek mampu menyumbang pendapatan negara yang tidak sedikit, bahkan dapat melebihi sektor pertambangan. Bayangkan saja dalam sepuluh tahun terakhir, data dari Bank Indonesia tahun 2011 seperti yang dikutip oleh Syamsul Hadi, dkk dalam buku “Kriminalisasi Berujung Monopoli”,  penerimaan cukai dari perindustrian rokok meraih rekor 19,47 % atau mencapai angka 62,75 triliun rupiah. Dengan demikian, jika ditinjau atau dikaji ulang secara seksama, maka akan berujung pada sebuah inferensi bahwa sektor pertambangan dan pertanian, yakni tembakau lebih potensial (Dahris Siregar, dkk, 2011; 3). Indutri rokok Indonesia dan Pertambangan mungkin akan sama – sama menyerap banyak tenaga kerja. Sehingga bisa diperkirakan bahwa kedua sektor ini dapat menekan angka pengangguran. Namun, sektor pertambangan akan banyak menyerap pula modal atau investasi besar untuk proyek – proyek pertambangan. Belum lagi soal dampak lingkungannya yang mana harus senantiasa mendapatkan perhatian agar masalah lingkungan yang menyertainya dapat diatasi dengan tepat.
Berbeda dengan sektor agraris, yakni tembakau. Industri rokok mampu diupayakan hasilnya dengan optimal dengan tidak menyertakan modal atau investasi sebesar sektor pertambangan. Untuk Indonesia, industri rokok dapat dijalankan dengan optimal hanya dengan memakan lahan sekitar 198 ribu hektar. Sementara sektor pertambangan bisa memakan lahan hingga 42 juta hektar (Ahmad Suryono, dkk, 2011; 3). Industri rokok tidak membutuhkan alat-alat dan ahli yang sophisticated dimana merupakan pos anggaran yang banyak membutuhkan aliran dana yang tidak sedikit. Kemungkinan campur tangan banyak investasi asing pun sedikit lebih tertutup dari pada sektor pertambangan. Sektor pertambangan yang diberdayakan oleh pemerintah negara ini masih banyak melibatkan intelektualitas asing yang dikemas dalam proposal investasi asing.
Sementara, sektor industri yang dimaksimalkan di dalam negeri akan banyak menyerap tenaga kerja, tenaga ahli dan perlatan serta perlengkapan yang banyak bisa terjangkau oleh masyarakat Indonesia sendiri. Salamuddin Daeng, dkk, dalam buku “Kriminalisasi Berujung Monopoli” menyertakan data dari International Labour Organization (ILO), menyebutkan bahwa jumlah tenaga kerja yang terlibat langsung dalam industri rokok di Indonesia mencapai angka 10 juta orang (ILO, 2003). Angka ini cukup signifikan dalam menekan angka pengangguran. Jumlah sekian juta ini mencapai 30 persen dari jumlah tenaga kerja sektor formal di Indonesia, atau sekitar 10 persen dari jumlah tenaga kerja secara keseluruhan (Salamuddin Daeng, dkk, 2011; 3). Tanah Indonesia adalah tanah yang telah bersahabat dengan budidaya tembakau. Penduduk Indonesia telah terinternalisasi secara kultural sebuah kebiasaan yang terintegrasi membentuk sebuah peradaban agraris tembakau. Ada banyak cerita tentang tembakau yang melegenda. Secara klasik, sering terdengar cerita sang SPG pertama, Roro Mendut yang menaktualisasikan kepermpuanannya dengan menjadi seorang penjual rokok keliling pertama. Di ranah yang lebih modern, K.H Agus Salim sang Pahlawan bangsa telah mengukir sejarah dengan menertawakan balik orang-orang Eropa yang menertawakannya tatkala menghisap rokok di dalam sebuah forum internasional di Inggris.
Rokok dan manusia Indonesia telah membentuk sebuah ikatan sejarah yang turut memwarnai identitas kejayaan negera seribu pulau ini. Dengan demikian, tidak berlebihan jika rokok kretek merupakan bagian penting dari warisan luhur nenek moyang yang harus dijaga oleh para generasi penerusnya. Isu-isu terkini yang begitu jelas sang generasi penerus memandang sebelah mata kekayaan luhur ini dengan mengatasnamakan banyak fatwa dan pendirian ini dan itu. Sungguh sangat ironi ketika para pengisi kemerdekaan ini tidak dapat memahami dengan arif dan bijak terhadap setiap kekayaan luhur warisan nenek moyang. Para cendekiawan muda negeri ini terlihat dengan seenaknya mengulang, menambal-sulam budaya leluhur hanya karena kepentingan-kepentingan modal dan pengkayaan diri atau golongan. Eksistensi industri rokok kretek yang semakin tersudutkan akibat campurtangan para pembesar negara dengan perjanjian-perjanjian pasar bebas sperti ASEAN – China Free Trade Agreement (CAFTA) dan ASEAN-India. Kedua negara tersebut merupakan competitor utama Indonesia dalam memproduksi kretek. Kebijakan perjanjian tersebut berdampak pada melesunya meningkatnya nilai impor tembakau hingga mencapai 20 ton pertahunnya (Salamuddin Daeng, dkk, 2011; 4).
Di tengah kecaman kebijakan perjanjian dagang internasional, industri kretek kian meredup tatkala kampanye besar “mengharamkan” rokok oleh bayak pihak. Pihak-pihak pemerintah turut mensinergiskan diri dengan pihak-pihak swasta seperti LSM, LBH yang didanai oleh Bank Dunia, untuk mengusir kebiasaan merokok di Republik ini. Belum lagi ditambah dengan serangan-serangan pemerintah pusat maupun daerah yang memberlakukan kebijakan, aturan atau hukum -hukum yang semakin mengikat peredaran kretek di buminya sendiri. Para ahli hukum dan kesehatan seolah terlihat mendiskriminasikan dengan tajam tentang keharaman rokok ini. Mereka seakan mentup segala hal penyebab menurunnya kesehatan.  Tidak ada analisa yang bijak dalam menangani kasus rokok kretek ini. Di tengah gencar-gencarnya poster anti rokok tertempel di banyak dinding bangunan pemerintah dan fasilitas umum negeri ini, para perusahan rokok asing seakan menyusup dengan mulus dan meraup untuk sebab mendapatkan lahan pasar ekonomi yang strategis di Indonesia. Nampaknya, para pengusaha asing mendapatkan sambutan “tangan istimewa” dari para pengambil kebijakan negeri ini.
Indonesia telah merdeka lebih dari lima puluh tahun. Kemapanan pendidikan yang diselenggarakan semakin banyak menghasilkan para cendekiaawan yang semestinya mumpuni dalam menanggapi dan menawarkan solusi strategis untuk permasalahan nasional ini. Namun, sungguh tragis ketika masalah ini justru berangsung-angsur tidak kunjung mereda. Penganggunran dan aksi gulung tikar industri kretek semakin kerap terdengar. Aksi demo buruh kian mencuat ke permukaan lantaran tak terbendung lagi. Mengapa para pembesar bangsa ini seakan kehilangan kecerdasannya tak seperti ketika duduk di bangku pendidikan yang dienyamnya dahulu. Ada apa dengan republik ini? Apakah ada pesona KKN yang bertebaran dalam nadi sanubari para birokrat dan pemimpin NKRI?
Ada dua pertentangan kuat yang mendominasi kasus nasional yang tak kunjung reda ini. Pertama, adanya aksi penolakan rokok dan eksistensi industri rokok nasiol sebab diyakini sebagai biang kerok tersendatnya keberhasilan Millenium Development Goals (MDGs) di Indonesia, khususnya sektor kesehatan. Pihak-pihak yang anti rokok berdalih bahwa kesehatan adalah modal terbesar dalam menjaga estafek kebudayaan bangsa. Dan rokok adalah pembunuh ulung kesehatan dan pemadam intelektualitas anak bangsa. Kedua, pihak anti rokok mendapat serangan penolakan keras dari para pemerhati sosial – budaya dan para petani tembakau dan pengusaha kretek. Mereka mempunyai dalih kuat bahwasannnya mematikan sektor ini hanyak akan mempersuram perekonomian NKRI. Mereka dengan kuat menegaskan bakat dan potensi ekonomi manusia Indonesia tidak lain adalah bertani, termasuk di dalamnya budidaya tembakau penghasil kretek. Selain itu, mereka memperkuat argument dengan analisa historis, bahwa tembakau dan kretek dalah warisan budaya nenek moyang yang harus dijaga bukan sebaliknya.
Permasalahannya, berlarut-larut pertikaian ini terus berlangsung dan bahkan kian menggema tanpa solusi. Tulisan ini mencoba menyemaikan jalan tengah yang mana diharapkan mampu menawarkan solusi paling dirindukan para pakar kesehatan, budayawan, petani dan pengusaha di Indonesia. Alangkah lebih baiknya, solusi atas permasalahan yang tidak enteng ini dipikirkan dengan mendalam. Kedua pihak yang saling bertentagan tidak lantas dihakimi dengan keras pihak ini yang salah dan pihak ini yang benar. Tidak dapat dipungkiri jika memang Indonesia secara historis memang merupakan tanah tembakau yang sejak lama membentuk peradaban yang bersahabat dengan tanaman kaya nikotin ini. Analisa mendalam juga tidak dapat mengingkari bahwa manusia Indonesia telah lama menggantungkan diri di atas roda perekonomian tembakau. Sudah banyak jiwa-jiwa yang bertahan lantaran terkucuri materi dari kegiatan ekonomi bersama tembakau dan kretek.
Selanjutnya, realita yang tidak dapat terfatamorganakan oleh pandangan bahwa penelitian terbarukan memang membuktikan merokok adalah kebiasaan yang merugikan kesehatan. Sudah banyak bermunculan dan terpublikasikan di kalangan khalayak Indonesia bahwa dengan merokok akan memancing perkara kesehatan yang komplek. Memang merupakan sebuah kerangka berpikir yang tak sepenuhnya salah jika dengan menurunnya kesehatan para generasi muda akan berdampak pada menurunnya prestasi bangsa. Namun perlu digaris bawahi bahwa kedua argument tersebut tidak jauh dari layaknya sebuah keyakinan atau agama. Kedua pihak pro maupn kontra mempunyai dasar pemikiran tersendiri yang mana mereka yakini. Perbedaan akan keyakinan tersebut adalah wajar, jadi sebagai penerus bangsa yang intelek dan bijak harus meformulasikan sebuah konsep solusi yang wajar, yakni mengedepankan kepentingan humanis. Mematikan salah satu pihak di atas bagaikan sebuah permainan variabel dalam pelajaran matematika hanyak akan membawa kerusuhan yag tak kuncung redup.  Sebab kebijakan tersebut berawal dari peletakan manusia laksana robot atau benda mati.
Dengan demikian segala kebijakan terkait perindustrian nasional kretek Indonesia harus berpihak pada kedua kubu di atas. Mereka semua perlu diakomodasi apa yang digelisahkan dan apa yang dikehendakkan. Bukankah idealnya, para pemimpin bangsa itu mengayomi dan mendengarkan keluh kesah warganya?. Diperlukan kebijakan yang tepat agar bagaiman kedua belah pihak ini merasa diperhitungkan dan dipenuhi kehendaknya tanpa harus mengeliminasi kepentingan pihak lain. Manusia sejatinya merupakan hewan yang berpikir (animale rational) yang pastinya akan mengerti bagaimana belajar dari pengalaman demi pengalaman. Adapaun jika meraka yang pendukung kretek mengalami apa yang dikhawatirkan oleh mereka yang pro kesehatan, maka sanubari mereka pasti akan berangsur-angsur akan meninggalkan kretek dan juga sebaliknya.
Indonesia masih merupakan negara berkembang yang haus akan pembangunan dan pembangunan. Baik pembangunan intelektual manusianya maupun pembangunan infrastruktur yang mendomplang kemakmuran hidup berbangsa dan benegara. Dengan demikian, jalas bahwa stereotip pemikiran yang menyatakan bahwa kemakmuran terindikasi mutlak oleh kemapanan perut, maka solusi strategis untuk kali ini adalah tetap memperhatikan kemapanan industri rokok kretek nasional. Sebab, mematikan industri turun-temurun ini hanyak akan menambah deretan pengangguran dan kemiskinan. Mengapa demikian karena laju dampak sosial ekonomi terbukti lebih cepat dan besar dampaknya dari pada ancaman-ancaman kesehatan seperti yang dikampanyekan baru-baru ini.
Himpitan sosial ekonomi akan lebih membunuh dari pada himpitan kesehatan yang datang dari batang-batang kretek. Bukti logisnya, ratusan tahun orang-orang Indonesia secara historis mampu bertahan akan ancaman itu dan dengan demikian sebetulnya masyarakat republik ini telah terbiasa mengantitesa dampak-dampak negatif dari rokok itu sendiri. Di samping itu isu globalisasi yang menghangatkan gairah untuk “nguri – ngurio budoyo” seharusnya menjadi lahan empuk yang potensial. Tembakau dan kretek telah menjadi heritage Indonesia yang potensial sebagai wahana konservasi identitas bangsa yang mempunyai implikasi logis sebagai wisata budaya pendongkrak ekonomi nasional.
Dengan ini, dapat dianalisa seksama bahwa mematikan sektor pertanian tembakau yang mensuplai atas kemapanan industri kretek nasional juga secara langsung turut mengikis identitas bangsa dan negara Indonesia. Jika diandingkan dengan ancaman kesehatan yang memprediksikan bahwa manusia bisa mengalami kematian dalam kurun waktu tertentu, maka jika mematikan sektor tembakau ini juga memancing ancaman jangka panjang. Yaitu terkikisnya bagian penting dari identitas bangsa. Apa jadinya jika identitas negera ini dipertanyakan kembali oleh dunia?  Belum ada riset atau bahkan hipotesa sekalipun terkini yang menganalisa bahwa ada korelasi kuat antara merokok yang notabene tidak semua orang merokok dapat merobohkan sebuah negara.
Namun, sudah bayak tersirat dalam lembar sejarah bahwa sebuah negeri dapat dengan mudah rapuh dan akhirnya gulung tikar disebabkan lunturnya identitas nasional yang dibayangkan bersama (imaging communities) seperti yang diungkapkan Anderson. Dapat dicontohkan ialah terpecahnya India – Pakistan, Timor Leste dan sebagainya. Optimalisasi sektor pertanian, terutama tembakau dalam rangka melejitkan pendapatan industri kretek nasiolan, bukanlah sekedar merupakan aksi mengubur kepedulian kesehatan. Dengan solusi ini bukanlah untuk menciptakan labelling bahwa Indonesia adalah negara yang rendah angka kepeduliannya terhadap kesehatan. Pelaksanaan kebijakan semacam ini harus senantiasa dikawal dengan maksimal demi tercapainya harmonisasi seluruh aspek kesejahteraan manusia Indonesia.