KRETEKKU HILANG INDONESIAKU MALANG
Oleh:
T. Adi Sampurno, Mochammad Baihaqi Al Chasan,
Hudha Abdul Rohman
UNIVERSITAS AIRLANGGA SURABAYA
Indonesia
terkenal dengan sebutan negara kepulauan yang sampai sekarang ini dikagumi kancah
internasional. Kekayaan dan kemakmuran negeri martim ini telah tercermin dalam
ungkapan sastrawi era Majapahit “gemah
ripah loh jinawi, tata tenteram karta raharja”(Ketut Rindjin, 2012; 35).
Kekayaan alam yang banyak mengandung pundi – pundi material tambang diperkaya
dengan menawannya bentang alam yang elok. Gambaran surga dunia yang dimiliki
Indonesia semakin utuh oleh manusia – manusia yang hidup di atasnya dengan
beraneka keberagamannya. Multikulturalisme masyarakat Indonesia tersebar indah
dari Sabang hingga Merauke yang mana semakin menambah keelokan Ibu Pertiwi di
mata dunia. Betapa mewahnya Indonesia ini di mata dunia. Itulah sebabnya,
bangsa – bangsa asing banyak berdatangan silih berganti mendatangi negeri kepulauan
terbesar di dunia ini. Sejarah panjang Indonesia yang banyak dituliskan baik
dengan pahit maupun manis merupakan bukti betapa matangnya pengalaman historis
negeri ini untuk sebagai modal utama dalam melangkah, meniti masa depan.
Indonesia yang bertanah subur, telah menorehkan sejarah dan mengukir identitas
bahwa Nusantara ini telah lama tumbuh dan berkembang di atas perahu kekayaan
agraris. Sejarah Indonesia memang tidak bisa jauh dari bergulirnya roda sektor
pertanian.
Tumbuh
kembangnya Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) dengan berkembang pesatnya laju pertanian membuatnya dikenal
sebagai negara dunia ketiga yang bercorak agraris. Daratan yang dimilikinya
mampu menghasilkan komoditi-komodi primadona perdangan internasional sejak
dahulu kala. Bermacam rempah-rempah dan sutra sempat menghebohkan dunia
perdagangan dunia, termasuk di dalamnya ialah tembakau. Indonesia yang secara
geografis dilewati oleh rantai cincin gunung api mempunyai konsekuensi positif
bagi tanah yang subur. Hal ini tidak menutup kemungkinan bagi budidaya tembakau
yang besar. Dan terbukti, sinyal potensi budidaya tembakau yang dimilki dataran
– daratan di Indonesia ditangkap dengan cerdik oleh para penjajah. Kolonial
Belanda dengan segenap upaya menjadikan Nusantara sebagai lumbung emas yang
ditelurkan dari sektor agraris tembakau. Hingga kini Indonesia dikenal termasuk
dalam jajaran negara penghasil tembakau terbesar. Potensi pertanian tembakau di
Indonesia membawa dampak positif yakni terdongkraknya perindustrian rokok, terutama
kretek. Indonesia memang bukanlah pencetus budaya merokok, namun negeri ini
merupakan penghasil bahan rokok yang tidak dapat dipandang sebelah mata.
Indutri rokok kretek rupanya telah lama bertengger dan membudaya sejak lebih
dari ratusan tahun di kalangan masyarakat Indonesia (Salamuddin Daeng, dkk,
2011; 1). Di kawasan Asia, khususnya Asia Tenggara yang mana termasuk
Indonesia, tembakau telah dikonsumsi sebagai obat maupun penyemangat stamina.
Dengan berbagai cara dan rupa tembakau dikonsumsi dan telah melekat dalam
keseharian masyarakat Indonesia, terutama dalam rutinitas kerja.
Sejak
awal abad ke-19, indutri kretek telah mampu berekspansi hingga daratan Eropa.
Industri kretek ini telah mampu mengangkat perekonomian nasional di masa
depannya. Hingga pada era reformasi, kretek mampu menyumbang pendapatan negara
yang tidak sedikit, bahkan dapat melebihi sektor pertambangan. Bayangkan saja
dalam sepuluh tahun terakhir, data dari Bank Indonesia tahun 2011 seperti yang
dikutip oleh Syamsul Hadi, dkk dalam buku “Kriminalisasi
Berujung Monopoli”, penerimaan cukai
dari perindustrian rokok meraih rekor 19,47 % atau mencapai angka 62,75 triliun
rupiah. Dengan demikian, jika ditinjau atau dikaji ulang secara seksama, maka
akan berujung pada sebuah inferensi bahwa sektor pertambangan dan pertanian,
yakni tembakau lebih potensial (Dahris Siregar, dkk, 2011; 3). Indutri rokok
Indonesia dan Pertambangan mungkin akan sama – sama menyerap banyak tenaga
kerja. Sehingga bisa diperkirakan bahwa kedua sektor ini dapat menekan angka
pengangguran. Namun, sektor pertambangan akan banyak menyerap pula modal atau
investasi besar untuk proyek – proyek pertambangan. Belum lagi soal dampak
lingkungannya yang mana harus senantiasa mendapatkan perhatian agar masalah
lingkungan yang menyertainya dapat diatasi dengan tepat.
Berbeda
dengan sektor agraris, yakni tembakau. Industri rokok mampu diupayakan hasilnya
dengan optimal dengan tidak menyertakan modal atau investasi sebesar sektor
pertambangan. Untuk Indonesia, industri rokok dapat dijalankan dengan optimal
hanya dengan memakan lahan sekitar 198 ribu hektar. Sementara sektor
pertambangan bisa memakan lahan hingga 42 juta hektar (Ahmad Suryono, dkk,
2011; 3). Industri rokok tidak membutuhkan alat-alat dan ahli yang sophisticated dimana merupakan pos
anggaran yang banyak membutuhkan aliran dana yang tidak sedikit. Kemungkinan
campur tangan banyak investasi asing pun sedikit lebih tertutup dari pada
sektor pertambangan. Sektor pertambangan yang diberdayakan oleh pemerintah
negara ini masih banyak melibatkan intelektualitas asing yang dikemas dalam
proposal investasi asing.
Sementara,
sektor industri yang dimaksimalkan di dalam negeri akan banyak menyerap tenaga
kerja, tenaga ahli dan perlatan serta perlengkapan yang banyak bisa terjangkau
oleh masyarakat Indonesia sendiri. Salamuddin Daeng, dkk, dalam buku “Kriminalisasi Berujung Monopoli”
menyertakan data dari International
Labour Organization (ILO), menyebutkan bahwa jumlah tenaga kerja yang terlibat
langsung dalam industri rokok di Indonesia mencapai angka 10 juta orang (ILO,
2003). Angka ini cukup signifikan dalam menekan angka pengangguran. Jumlah
sekian juta ini mencapai 30 persen dari jumlah tenaga kerja sektor formal di
Indonesia, atau sekitar 10 persen dari jumlah tenaga kerja secara keseluruhan
(Salamuddin Daeng, dkk, 2011; 3). Tanah Indonesia adalah tanah yang telah
bersahabat dengan budidaya tembakau. Penduduk Indonesia telah terinternalisasi
secara kultural sebuah kebiasaan yang terintegrasi membentuk sebuah peradaban
agraris tembakau. Ada banyak cerita tentang tembakau yang melegenda. Secara
klasik, sering terdengar cerita sang SPG pertama, Roro Mendut yang
menaktualisasikan kepermpuanannya dengan menjadi seorang penjual rokok keliling
pertama. Di ranah yang lebih modern, K.H Agus Salim sang Pahlawan bangsa telah
mengukir sejarah dengan menertawakan balik orang-orang Eropa yang
menertawakannya tatkala menghisap rokok di dalam sebuah forum internasional di
Inggris.
Rokok
dan manusia Indonesia telah membentuk sebuah ikatan sejarah yang turut
memwarnai identitas kejayaan negera seribu pulau ini. Dengan demikian, tidak
berlebihan jika rokok kretek merupakan bagian penting dari warisan luhur nenek
moyang yang harus dijaga oleh para generasi penerusnya. Isu-isu terkini yang
begitu jelas sang generasi penerus memandang sebelah mata kekayaan luhur ini
dengan mengatasnamakan banyak fatwa dan pendirian ini dan itu. Sungguh sangat
ironi ketika para pengisi kemerdekaan ini tidak dapat memahami dengan arif dan
bijak terhadap setiap kekayaan luhur warisan nenek moyang. Para cendekiawan
muda negeri ini terlihat dengan seenaknya mengulang, menambal-sulam budaya leluhur
hanya karena kepentingan-kepentingan modal dan pengkayaan diri atau golongan. Eksistensi
industri rokok kretek yang semakin tersudutkan akibat campurtangan para pembesar
negara dengan perjanjian-perjanjian pasar bebas sperti ASEAN – China Free Trade Agreement (CAFTA) dan ASEAN-India.
Kedua negara tersebut merupakan competitor utama Indonesia dalam memproduksi
kretek. Kebijakan perjanjian tersebut berdampak pada melesunya meningkatnya
nilai impor tembakau hingga mencapai 20 ton pertahunnya (Salamuddin Daeng, dkk,
2011; 4).
Di
tengah kecaman kebijakan perjanjian dagang internasional, industri kretek kian
meredup tatkala kampanye besar “mengharamkan” rokok oleh bayak pihak. Pihak-pihak
pemerintah turut mensinergiskan diri dengan pihak-pihak swasta seperti LSM, LBH
yang didanai oleh Bank Dunia, untuk mengusir kebiasaan merokok di Republik ini.
Belum lagi ditambah dengan serangan-serangan pemerintah pusat maupun daerah
yang memberlakukan kebijakan, aturan atau hukum -hukum yang semakin mengikat
peredaran kretek di buminya sendiri. Para ahli hukum dan kesehatan seolah
terlihat mendiskriminasikan dengan tajam tentang keharaman rokok ini. Mereka
seakan mentup segala hal penyebab menurunnya kesehatan. Tidak ada analisa yang bijak dalam menangani
kasus rokok kretek ini. Di tengah gencar-gencarnya poster anti rokok tertempel
di banyak dinding bangunan pemerintah dan fasilitas umum negeri ini, para
perusahan rokok asing seakan menyusup dengan mulus dan meraup untuk sebab
mendapatkan lahan pasar ekonomi yang strategis di Indonesia. Nampaknya, para
pengusaha asing mendapatkan sambutan “tangan istimewa” dari para pengambil
kebijakan negeri ini.
Indonesia
telah merdeka lebih dari lima puluh tahun. Kemapanan pendidikan yang
diselenggarakan semakin banyak menghasilkan para cendekiaawan yang semestinya
mumpuni dalam menanggapi dan menawarkan solusi strategis untuk permasalahan
nasional ini. Namun, sungguh tragis ketika masalah ini justru berangsung-angsur
tidak kunjung mereda. Penganggunran dan aksi gulung tikar industri kretek
semakin kerap terdengar. Aksi demo buruh kian mencuat ke permukaan lantaran tak
terbendung lagi. Mengapa para pembesar bangsa ini seakan kehilangan
kecerdasannya tak seperti ketika duduk di bangku pendidikan yang dienyamnya
dahulu. Ada apa dengan republik ini? Apakah ada pesona KKN yang bertebaran
dalam nadi sanubari para birokrat dan pemimpin NKRI?
Ada
dua pertentangan kuat yang mendominasi kasus nasional yang tak kunjung reda
ini. Pertama, adanya aksi penolakan
rokok dan eksistensi industri rokok nasiol sebab diyakini sebagai biang kerok
tersendatnya keberhasilan Millenium
Development Goals (MDGs) di Indonesia, khususnya sektor kesehatan. Pihak-pihak
yang anti rokok berdalih bahwa kesehatan adalah modal terbesar dalam menjaga
estafek kebudayaan bangsa. Dan rokok adalah pembunuh ulung kesehatan dan
pemadam intelektualitas anak bangsa. Kedua,
pihak anti rokok mendapat serangan penolakan keras dari para pemerhati sosial –
budaya dan para petani tembakau dan pengusaha kretek. Mereka mempunyai dalih
kuat bahwasannnya mematikan sektor ini hanyak akan mempersuram perekonomian
NKRI. Mereka dengan kuat menegaskan bakat dan potensi ekonomi manusia Indonesia
tidak lain adalah bertani, termasuk di dalamnya budidaya tembakau penghasil
kretek. Selain itu, mereka memperkuat argument dengan analisa historis, bahwa
tembakau dan kretek dalah warisan budaya nenek moyang yang harus dijaga bukan
sebaliknya.
Permasalahannya,
berlarut-larut pertikaian ini terus berlangsung dan bahkan kian menggema tanpa
solusi. Tulisan ini mencoba menyemaikan jalan tengah yang mana diharapkan mampu
menawarkan solusi paling dirindukan para pakar kesehatan, budayawan, petani dan
pengusaha di Indonesia. Alangkah lebih baiknya, solusi atas permasalahan yang
tidak enteng ini dipikirkan dengan mendalam. Kedua pihak yang saling
bertentagan tidak lantas dihakimi dengan keras pihak ini yang salah dan pihak
ini yang benar. Tidak dapat dipungkiri jika memang Indonesia secara historis
memang merupakan tanah tembakau yang sejak lama membentuk peradaban yang
bersahabat dengan tanaman kaya nikotin ini. Analisa mendalam juga tidak dapat
mengingkari bahwa manusia Indonesia telah lama menggantungkan diri di atas roda
perekonomian tembakau. Sudah banyak jiwa-jiwa yang bertahan lantaran terkucuri
materi dari kegiatan ekonomi bersama tembakau dan kretek.
Selanjutnya,
realita yang tidak dapat terfatamorganakan oleh pandangan bahwa penelitian
terbarukan memang membuktikan merokok adalah kebiasaan yang merugikan
kesehatan. Sudah banyak bermunculan dan terpublikasikan di kalangan khalayak
Indonesia bahwa dengan merokok akan memancing perkara kesehatan yang komplek.
Memang merupakan sebuah kerangka berpikir yang tak sepenuhnya salah jika dengan
menurunnya kesehatan para generasi muda akan berdampak pada menurunnya prestasi
bangsa. Namun perlu digaris bawahi bahwa kedua argument tersebut tidak jauh
dari layaknya sebuah keyakinan atau agama. Kedua pihak pro maupn kontra
mempunyai dasar pemikiran tersendiri yang mana mereka yakini. Perbedaan akan
keyakinan tersebut adalah wajar, jadi sebagai penerus bangsa yang intelek dan
bijak harus meformulasikan sebuah konsep solusi yang wajar, yakni mengedepankan
kepentingan humanis. Mematikan salah satu pihak di atas bagaikan sebuah
permainan variabel dalam pelajaran matematika hanyak akan membawa kerusuhan yag
tak kuncung redup. Sebab kebijakan
tersebut berawal dari peletakan manusia laksana robot atau benda mati.
Dengan
demikian segala kebijakan terkait perindustrian nasional kretek Indonesia harus
berpihak pada kedua kubu di atas. Mereka semua perlu diakomodasi apa yang
digelisahkan dan apa yang dikehendakkan. Bukankah idealnya, para pemimpin
bangsa itu mengayomi dan mendengarkan keluh kesah warganya?. Diperlukan
kebijakan yang tepat agar bagaiman kedua belah pihak ini merasa diperhitungkan
dan dipenuhi kehendaknya tanpa harus mengeliminasi kepentingan pihak lain.
Manusia sejatinya merupakan hewan yang berpikir (animale rational) yang pastinya akan mengerti bagaimana belajar
dari pengalaman demi pengalaman. Adapaun jika meraka yang pendukung kretek
mengalami apa yang dikhawatirkan oleh mereka yang pro kesehatan, maka sanubari
mereka pasti akan berangsur-angsur akan meninggalkan kretek dan juga
sebaliknya.
Indonesia
masih merupakan negara berkembang yang haus akan pembangunan dan pembangunan.
Baik pembangunan intelektual manusianya maupun pembangunan infrastruktur yang
mendomplang kemakmuran hidup berbangsa dan benegara. Dengan demikian, jalas
bahwa stereotip pemikiran yang menyatakan bahwa kemakmuran terindikasi mutlak
oleh kemapanan perut, maka solusi strategis untuk kali ini adalah tetap
memperhatikan kemapanan industri rokok kretek nasional. Sebab, mematikan
industri turun-temurun ini hanyak akan menambah deretan pengangguran dan
kemiskinan. Mengapa demikian karena laju dampak sosial ekonomi terbukti lebih
cepat dan besar dampaknya dari pada ancaman-ancaman kesehatan seperti yang dikampanyekan
baru-baru ini.
Himpitan
sosial ekonomi akan lebih membunuh dari pada himpitan kesehatan yang datang
dari batang-batang kretek. Bukti logisnya, ratusan tahun orang-orang Indonesia
secara historis mampu bertahan akan ancaman itu dan dengan demikian sebetulnya
masyarakat republik ini telah terbiasa mengantitesa dampak-dampak negatif dari
rokok itu sendiri. Di samping itu isu globalisasi yang menghangatkan gairah
untuk “nguri – ngurio budoyo”
seharusnya menjadi lahan empuk yang
potensial. Tembakau dan kretek telah menjadi heritage Indonesia yang potensial sebagai wahana konservasi
identitas bangsa yang mempunyai implikasi logis sebagai wisata budaya
pendongkrak ekonomi nasional.
Dengan
ini, dapat dianalisa seksama bahwa mematikan sektor pertanian tembakau yang
mensuplai atas kemapanan industri kretek nasional juga secara langsung turut
mengikis identitas bangsa dan negara Indonesia. Jika diandingkan dengan ancaman
kesehatan yang memprediksikan bahwa manusia bisa mengalami kematian dalam kurun
waktu tertentu, maka jika mematikan sektor tembakau ini juga memancing ancaman
jangka panjang. Yaitu terkikisnya bagian penting dari identitas bangsa. Apa
jadinya jika identitas negera ini dipertanyakan kembali oleh dunia? Belum ada riset atau bahkan hipotesa
sekalipun terkini yang menganalisa bahwa ada korelasi kuat antara merokok yang
notabene tidak semua orang merokok dapat merobohkan sebuah negara.
Namun,
sudah bayak tersirat dalam lembar sejarah bahwa sebuah negeri dapat dengan
mudah rapuh dan akhirnya gulung tikar disebabkan lunturnya identitas nasional
yang dibayangkan bersama (imaging
communities) seperti yang diungkapkan Anderson. Dapat dicontohkan ialah
terpecahnya India – Pakistan, Timor Leste dan sebagainya. Optimalisasi sektor
pertanian, terutama tembakau dalam rangka melejitkan pendapatan industri kretek
nasiolan, bukanlah sekedar merupakan aksi mengubur kepedulian kesehatan. Dengan
solusi ini bukanlah untuk menciptakan labelling
bahwa Indonesia adalah negara yang rendah angka kepeduliannya terhadap
kesehatan. Pelaksanaan kebijakan semacam ini harus senantiasa dikawal dengan
maksimal demi tercapainya harmonisasi seluruh aspek kesejahteraan manusia
Indonesia.