Minggu, 27 Januari 2013

Tugas Mata Kuliah Penulisan Kreatif: Warung Giras "Muchid" is Never Dies


Warung Giras “Muchid” is Never Dies


        Sore itu pada bulan Agustus 2011 sekitar pukul 18.00 WIB , Surabaya mulai kembali ditinggalkan mentari dan digantikan dengan gelap yang kala itu bukannya sang rembulan yang menyapa namun rintik hujan yang kian deras menyerbu. Di antara kemercikcanda rintik hujan, terdengar keramaian senda gurau orang – orang yang duduk santai di sebuah warung yang terletak di kawasan Jojoran I Kota Surabaya.


Di temani segelas es teh dan sebatang rokok, mereka terlihat begitu asyik bercengkrama dengan bebas, lepas tanpa beban dan tak terlewatkan kata – kata dancok dan gathel yang kerap terdengar. Nampaknya, rintik hujan yang kian deras semakin membuat cangkru’an di warung dekat gerbang Jojoran Asri itu semakin mantap.

            Warung yang ramai pengunjung tadi akhirnya membuatku tertarik untuk menghampirinya dari pada langsung pulang ke kos. Sembari menunggu alunan rintik hujan berakhir, aku putuskan untuk memesan teh hangat seharga seribu rupiah. Kebetulan, waktu itu aku bersama teman – temanku yang juga memesan segelas teh hangat. Tatkala menunggu pesanan teh hangat, aku memerhatikan deretan menu – menu makanan di warung itu. Terdapat macam – macam makanan dari yang kecil atau makanan ringan, berbagai minuman rasa hingga nasi bungkus seharga Rp. 4000 dengan aneka lauk - pauknya. Setelah ku perhatikan, ternyata nasi bungkus seharga Rp. 4000 itu merupakan menu idola dari sekian banyak pengunjung terutama mahasiswa, karena memang harga dan porsinya sesuai dengan kantong anak kos. Berikutnya es teh dan eh josua (campuran minuman suplemen makanan dan susu fullcream) adalah minuman yang disukai banyak pengunjung.

            Kebanyakan pengunjung dari warung yang bisa dikatakan sejenis dengan warung kopi ini adalah laki – laki. Pemiliki serta pelayannya pun juga seorang laki – laki. Akan tetapi, sesekali juga pernah ku lihat ada pengunjung wanita. Wanita yang datang diwarung yang luasnya dua belas meter persegi itu datang untuk sekedar menemani sang pacar atau suami dan atau mengantarkan makanan ringan, nasi bungkus untuk dititipakan dan dijual di warung tersebut. Warung yang dikenal dengan sebutan warung “giras” itu rupanya adalah warung kopi dimana orang – orang yang datang dari berbagai tingkatan sosial ada disitu. Mulai dari para buruh (pekerja kasar), mahasiswa hingga PNS (Pegawai Negeri Sipil). Meskipun warung yang terletak disebelah timur laut kompleks pemakaman islam dan kristen kawasan Jojoran I ini seringkali terlihat kumuh yang mana disebabkan lingkungannya yang merupakan lahan kosong yang rawan digunakan untuk membuang sampah sembarangan, namun hal ini bukan sebuah halangan untuk mampir di warung giras itu. Warung giras milik Muchid ini begitu digemari karena selain harga rata – rata menunya relatif murah, warung ini juga dekat dengan pedagang nasi goreng, bakso, nasi tempe penyet dan soto daging sehingga tak jarang para pengunjung warung giras sekalian pesan makanan pada pedagang sekitar warung giras itu.

            Warung giras binaan Muchid ini ternyata dalam sehari bisa mendapatkan pendapatan kotor sekitar tiga juta rupiah dan pendapatan bersih sekitar Rp. 700.000. Dengan demikian pendapatan bersih rata – rata perbulan bapak berusia 33 tahun ini mencapai Rp. 21.000.000. Sungguh pendapatan yang luar biasa bukan, sehingga tak mengherankan jika usaha warung giras ini mempunyai tiga karyawan yang mana  dua di antara mereka digaji masing – masing Rp. 1.500.000 dan yang satunya Rp. 750.000 setiap bulannya.

Tak seperti warung kopi biasa. Warung giras yang sepadan dengan warung kopi dimana erat sekali dengan lingkungan kumuh, masyarakat kelas bawah, hura – hura dan sering digunakan sebagai tempat minum alkohol. Akan tetapi lain halnya dengan warung giras milik Muchid ini. Warung giras yang baru saja mendapatkan sponsor dari salah satu merk rokok terkemuka di Indonesia ini mempunyai banyak pelanggan lantaran pelayanannya yang bisa dibilang berbeda dengan warung – warung kopi biasanya. Meskipun bertempat dilingkungan yang lumayan kumuh, namun warung ini selalu bersih. Ditambah pelayanan yang ramah membuat semakin tak terpisahkan dengan banyak pelanggan.

Perjuangan keras + Kesabaran + Do’a + Good Atitude= Kesuksesan

            Warung milik Muchid ini didirikan pada tahun 2004 dengan modal hanya sekitar seratus ribu rupiah. Modal yang minim ini rupanya didapatkan oleh Muchid dari jerih payahnya membuka warung kopi gerobak pertama di daerah Kedung Cowek atau sekitar kawasan jemabatan “Suramadu”. Warung kopi gerobak tersebut rupanya tidak bertahan lama. Muchid yang bersusah payah memulai usaha warung kopi gerobak, namun pada akhirnya pria kelahiran Gresik 33 tahun lalu ini harus mengikhlaskan gerobaknya untuk diambil petugas Satpol PP karena masalah ketertiban kota.

            Mengingat masih mempunyai tanggung jawab besar dalam menghidupi keluarganya, bapak satu putri ini membuka warung kopi alias warung giras kembali. Pak Muchid tergolong seseorang yang selalu belajar dari sejarah. Pria kelahiran Gresik, 22 Maret 1977 ini benar – benar bertekad agar kegagalan yang pernah ia lakukan tidak kembali terulang. Usaha warung giras kali ini, Muchid mulai memperhitungkan asas legaitas atas warung yang akan dibangunnya ini.Muchid terlebih dahulu mengurus soal perizinan atas pendirian warung girasnya yang direncanakan akan dibangun di Kawasan Jojoran 1, yakni sebelah barat toko swalayan. Akhirnya, Muchid berhasil memperoleh perizinan dari warga setempat, terutama pemilik lahan dan ketua RT setempat.

            Di dapatkannya izin pendirian warung oleh warga, pemilik lahan dan ketua RT setempat merupakan “lampu hijau” bagi Muchid yang semakin menumbuhkan semangatnya untuk mendirikan usaha warung giras di lokasi tersebut. Muchid kembali membuka warung giras dengan modal hanya sekitar seratus ribuan. Dengan bantuan istrinya, Muchid berharap agar warung ini mampu berjalan lancar, bisa mencukupi segara kebutuhan keluarganya.

           Seiring berjalannya waktu, nampaknya warung giras yang didirikannya mendapatkan perhatian warga cukup banyak. Perhatian warga semakin nyata ketika disertai dengan semakin bertambahnya pelanggan warung girasnya Muchid yang datang silih berganti, baik tua maupun muda. Kawasan Jojoran 1 Surabaya ini memang merupakan lokasi yang banyak dikemumuni pelajar dan mahasiswa. Lokasi warung giras Muchid ini kebetulan dekat dengan SMK’45 Surabaya, SMK Dr. Soetomo Surabaya, beberapa TK dan SD serta Perguruan Tinggi Negeri, yaitu Universitas Airlannga (kampus B). Akhirnya, Muchid berhasil mendapatkan pendapat yang rutin guna mencukupi kebutuhan keluarganya. Setidaknya, ada sekitar seratus ribu rupiah untuk setiap harinya, dan Muchid bisa mengambil keuntungan bersih sekitar tiga puluh ribuan. Pendapatan tersebut merupakan hasil dari warung giras yang telah beroperasi selama kurang – lebih 1 bulan. Muchid merasa sangat bersyukur, setidaknya harapan untuk mengembangkan usahanya semakin tebuka.

            Beberapa bulan kemudian, warung yang didirikan Muchid tersebut mulai menunjukkan penurunan dari jumlah pelanggan yang biasanya mampir ke warung yang berukuran sekitar dua belas meter persegi itu. Muchid pun mulai merasakan dampakanya, yakni penurunan pengahasilan setiap hari. Muchid dan istrinya merasa semakin hari jumlah pelanggan bukannya semakin bertambah melainkan semakin sedikit. Akhirnya, Muchid menemukan apa yang menjadi “biang kerok” menurunnya pelanggan warung girasnnya tadi. Ternyata, angkringan atau tempat cangkruk para pelanggan dan warga sekitar yang terdapat di samping kiri warung girasnya tersebut mulai disalah gunakan. Angkringan (sejenis gazebo) yang pada awalnya digunakan untuk berkumpul dan bercengkrama para pelanggan dan warga setempat kini digunakan sebagai tempat untuk berpesta miras pada hari – hari tertentu. Pesta miras yang sering dilakukan para pemuda “beradalan” di tempat cangkruk ini sering kali meresahkan warga sekitar, terutama di malam minggu. Fenomena ini rupanya mempengaruhi para pelanggan warung giras Muchid. Para pelanggan menjadi enggan untuk mampir, karena merasa terusik atau tidak nyaman bila berdekatan dengan orang – orang yang berpesta miras.

            Setelah Muchid mengetahui akan hal tersebut, pria berjenggot tebal ini tidak serta - merta memindahkan warung giras yang baru didirikannya. Muchid pada walnya membiarkan hal itu terjadi, ia berharap pesta miras yang sangat ramai ketika malam minggu itu bisa berhenti dengan sendirinya. Namun, kesabarannya semakin diuji. Lambat laun, Muchid tidak sabar untuk menunggu. Ia tidak sabar dengan perilaku para pemuda yang sering pesta miras di dekat warung girasnya tadi yang dirasa tak kunjung berakhir. Penghasilan warung yang semakin menurut, sementara kebutuhan hidup keluarga Muchid kian menggunung. Muchid pun berpikir sebijak mungkin bagaimana memberikan solusi atas persoalan ini. Akhirnya, Muchid pun memutuskan untuk membuka cabang warung giras baru. Keputusan Muchid kali ini sepintas terlihat aneh alias diluar nalar. Pasalnya, warung yang baru didirikannya tersebut tergolong warung yang hampir merugi, namun justru sang pemilik warung akan membuka cabang baru.

            Keputusan Muchid ini ternyata mengandung maksud cerdik yang tersembunyi. Maksud udang di balik batu ini terpaksa dilakukan Muchid dengan segera, agar tidak memberikan kesan buruk bagi pelanggannya yang termasuk orang yang kerap kali berpesta miras di dekat warungnya. Intinya, Muchid tidak ingin ada kesan “marah” dengan pelanggannya tadi. Ia berharap, agar tetap terjalin silaturrahmi tanpa harus mengorbankan usahanya sendiri.

        Sebelumnya, diam – diam Muchid memperhatikan kawasan lahan kosong di dekat kompleks pemakaman kristen dan islam di dekat pintu masuk Jojoran 1 Asri – Surabaya. Penilaian Muchid terhadap tempat itu kiranya sangatlah tepat jika didirikan sebuah warung giras. Lokasi yang direncanakanMuchid tadi merupakan lokasi yang berdekatan dengan kawasan kos (rumah sewa) mahasiswa Universitas Airlangga, Masjid dan TPQ Jannatul Ma’wa, SMK’45 Surabaya, SMA Muhammadiyah Surabaya serta TK dan Playgroub. Lokasi yang demikian ini sangat dimungkinkan akan mendapatkan pelanggan atau konsumen banyak. 

            Sehubungan dengan rencana Muchid untuk membuka cabang di lokasi tersebut, seperti pada waktu akan mendirikan warung giras di sebelah barat swalayan tadi, Muchid segera mengurus perizinan pendirian warung giras pada pemilik lahan, warga dan ketua RT setempat. Muchid yakin dengan diurus dan diselesaikannya perizinan pendirian warung tadi, maka akan semakin memudahkan langkah usahanya mendirikan dan menjalankan warung girasnya nanti. Dan akhirnya, Muchid pun kembali mendapatkan izin dari warga dan ketua RT setempat serta pemilik lahan. Kebetulan pemilik lahan tersebut berdomisili di Kota Malang, namun Muchid tak perlu jauh – jauh ke Malang, karena sudah ada perwakilan atau penjaga lahan tersebut yang tinggal tepat di gang sebelah utara lahan kosong tadi. Dengan di dapatkannya perizinan tadi, Muchid semakin mantap dan yakin untuk memulai usaha baru di kawasan lahan dekat gerbang gang Jojoran 1 Asri – Surabaya.

            Selanjutnya, Muchid kembali merancang kisaran dana untuk modal yang hendak didirikannya yang mana berjarak kurang lebih setengah kilometer sebelah timur dari warung girasnya yang lama. Pria yang mengaku menyesal tidak bisa lanjut kuliah ini sepertinya akan menyiapkan modal yang lebih besar dari modal sebelumnya. Muchid sangat yakin pada rencana usaha warung giras yang baru ini akan membawa untung besar karena bertempat yang tak kalah strategis dari tempat sebelumnya. Setelah berbagai usaha, pria yang akrab disapa Cak Moked oleh para pelanggannya ini akhirnya bisa menyiapkan dana sekitar dua ratus ribuan atau dua kali lipat dari modal – modal untuk mendirikan warung giras sebelumnya.

            Pria usia 33 tahun ini akhirnya mendapatkan simpati yang baik dari masyarakat sekitar lokasi warung giras barunya ini. Pada hari pertama buka warung yang menyediakan aneka minuman buah ini bisa menghasilkan pendapatan sekitar tujuh puluh ribuan. Penghasilan tadi merupakan penghasilan bersih dan Muchid pun terpacu semangatnya untuk lebih memberikan pelayanan yang semakin baik dari hari ke hari kepada pelanggan – pelanggan barunya.Sampai pada satu bulan selanjutnya.“Alhamdulillahsemakin menunjukkan kemajuan sedikit demi sedikit”, ujarnya.

            Akhirnya perjalanan Muchid dalam menjalankan usaha warung giras di dekat gerbang pintu masuk Komplek Jojoran Asri ini memasuki semester pertama. Sesuai dugaan Muchid, warung yang dimodali dua kali lipat dari modal warung giras sebelumnya ini mampu menyedot perhatian masyarakat yang tak hanya disekitar warung tadi, namun lebih luas lagi. Banyak para mahasiswa Unair yang tempat kosnya bahkan jauh dari warung giras “Muchid” berbondong – bondong mampir ke warung tersebut. Mereka beranggapan, warung giras milik Pria yang bukan berasal dari Surabaya ini memang beda. Warung ini lebih baik pelayanannya, bersih dan lebih lengkap menunya.

            Melihat perkembangan dari usaha barunya ini, Muchid rupanya telah meraup untung yang lumayan. Kemudian Muchid berencana membeli tanah milik orang Malang yang mana digunakan untuk membuka warung girasnya itu. Pendapatan dari warung giras yang baru ini meskipun tergolong lebih besar dari warung sebelumnya, namun ternyata belum bisa untuk membenyar penuh atau separuh dari harga tanah yang ditempatinya tadi. Tanah yang digunakan Muchid ini dipatok harga oleh sang pemilik sebesar satu juta rupiah per meter. Sementara luas tanah yang ditempati Muchid ini adalah sekitar 12 meter persegi sehingga pria yang berlatar pendidikan SMA jurusan Biologi ini harus mau tidak mau menyiapkan dana seharga motor bebek, yaitu Rp. 12.000.000. Wow, sungguh angka yang menyilaukan sekaligus menantang bagi pengusaha warung giras ini.
             
          Demi menjawab tantangan untuk membeli lahan seluas sekitar 12 meter persegi tadi, pria yang sekarang ini terlihat lebih gemuk ini harus berjuang keras bagaimana usaha warung giras yang didirikan berdekatan dengan gerobak sampah ini dapat menghasilkan laba yang lebih besar. Muchid akhirnya memutuskan untuk meminjam dana ke salah satu bank BUMN di Surabaya guna melengkapi kekurangan dana.
            Untuk membayar tagihan bank, Muchid minta bantuan kepada beberapa keluarganya yang bisa dimintai pinjaman uang. Dengan meminjam uang sebesar Rp. 12.000.000 kepada beberapa keluarganya, Muchid merasa lebih mudah untuk membayar dari pada harus langsung berususan dengan pihak bank yang sangat disiplin alias tidak ada toleransi layaknya dalam ikatan kekuarga.Dengan ini,Muchid tinggal memiliki tanggungan hutang kepada keluarganya yang mana bisa terselesaikan sambil menjalankan usahanya.

   Merasa terlalu lama jika membayar hutang kepada beberapa keluarganya tadi dengan menunggu tabungan dari laba usahanya, pria yang dikenal ramah dan humoris ini dengan berat hati harus merelakan motor kesayangannya dijual. Motor satu – satunya tadi berhasil dijual dan mendapatkan uang sekitar delapan juta ripiah. Sungguh sebuah nafas yang melegakan bagi Muchid. Akhirnya, ia bisa mencicil delapan juta rupiah untuk membayar tanah yang dipakai usahanya. Hal ini menyebabkan kobaran semangat untuk bisa membeli motor dan melunasi hutang uang tanah semakin membara. Sesampainya pada tahun 2009, Muchid bisa melunasi hutang kepada beberapa keluarganya yang telah berbaik hati memberikan bantuan dana untuk kesuksesan usahanya. Usaha warung giras yang didirikan dengan susah payah pada tahun 2004 itu pun juga kian berkembang. Muchid mampu memperbanyak barang dagangan, mendapatkan sponsor yang mendongkrak pengahasilan warung girasnya.

Mozaik Keberhasilan yang Terpelihara

  Sekitar empat tahun yang lalu, tepatnya pada tahun 2009 adalah tahun dimana Muchid merasakan mulai merasakan masa keemasan dalam usahanya. Warung giras yang seringkali dianggap sebagai usaha kaum kelas bawah ini menuntut keterampilan manajemen. Kegigihan yang dimiliki Cak Muchid, membuatnya terampil dalam memaknai pengalaman demi pengalaman. Kini, ia mampu memberikan hasil yang begitu menjanjikan. Berawal dari pengahasilan Rp. 100.000/ hari hingga Rp. 700.000/ hari sampai pada akhirnya Muchid mendapati pendapatan kotor Rp. 3.000.000/ hari dengan pendapatan bersih rata – rata Rp. 700.000/ hari adalah hasil dari pada perjuangan gigih yang sering kali banyak halangan yang menghadang.

Keberhasilan yang dicapai Muchid sehingga saat ini ia mempunyai dua karyawan dengan gaji Rp. 1.500.000/ bulan, 1 karyawan dengan gaji Rp. 700.000/ bulan serta bisa membeli seekor sapi untuk disembelih pada waktu hari raya Qurban adalah sebuah keberhasilan di atas rata – rata untuk taraf usaha warung kopi. Di balik keberhasilan yang dicapainya kini, ada banyak hal – hal yang sering menggelitik kesabaran pria yang berdomisili di kawasan perbatasan Surabaya – Gresik ini.Pernah suatu ketika ada beberapa pelanggannya yang sengaja hutang dan akhirnya tidak membayar hutang tadi. Bukan main – main, nilai nominal yang sering hilang digondol para pelanggan yang “nakal” tersebut rata – rata diatas lima puluh ribu rupiah. Hal yang sering terjadi ini sering pula dibiarkan oleh Muchid dan juga para karyawannya.Muchid berpikiran hal tersebut semata – mata adalah sedekah kepada orang yang membutuhkan.

Ada pula salah satu penjual warga sekitar warung yang sering menitipkan makanan di warung giras sengaja memberikan laporan jumlah barang yang salah.Sering kali melaporkan ada 100 buah, padahal faktanya hanya ada 80 buah. Tentu kecurangan – kecurangan ini akan mengakibatkan kerugian yang besar jika terus – terusan dibiarkan. Menanggapi hal ini Muchid kembali mempertajam kesabarannya sembari berharap kepada Tuhan, semoga hal tersebut segera usai dan diberi kesadaran pada pelaku – pelakunya.Akhirnya, harapan Muchid dan para karyawannya dijawab Tuhan.Lambat laun kecurangan – kecurang tadi berakhir dan kondisi kembali membaik seperti sedia kala.

Muchid, adalah penjual warung giras yang dikenal sangat ramah, humoris dan gampang mendekatkan diri dengan pelanggan.Bahkan Muchid adalah sosok yang dermawan. Tak jarang beberapa mahasiswa yang menjadi pelanggannya yang tengah kesulitan keuangan untuk membayar uang sewa kos dibantu oleh pria yang dulu dikenal  juara kelas ini. Dengan keberhasilannya sekarang ini tidak lantas Cak Muchid ini berniat untuk berlangganan air PDAM. Muchid justru mempertahan berlangganan airnya kepada air sumur masjid sebelah utara warung girasnya walaupu jelas lebih malal. Jika dihitung – hitung berlangganan air di PDAM per bulannya mungkin hanya akan memakan biaya sekitar Rp. 50.000/ bulan, sedangkan berlangganan air di sumur masjid yang dikirim setiap pagi dan petang ini memakan biaya Rp. 600.000/ bulan. Demikian halnya dengan berlangganan es baru di penjual es batu keliling akan lebih dipertahan Muchid dari pada ia harus membeli Freshzer, meskipun saat ini ia mampu membelinya. “Itung – itung sambil sedekah”, tambahnya.

Pria yang kini telah mempunyai 1 putri ini dalam hal lahan pun masih sempat berbagi dengan warga sekitar. Dipakainya area parkir pengunjung warung giras untuk jualan bakso, soto daging, dan nasi goreng oleh orang – orang yang bahkan tidak ia kenal, kelihatannya akan mengurangi minat pengunjung warung giras karena tidak tersedianya area parkir. Namun hal ini justru kebalikannya, orang – orang yang berkunjung ternyata malah semakin ramai dengan dilengkapinya aneka pilihan menu di warung giras tersebut. Seperempat lebih stan warung giras milik Muchid ini digunakan untuk jualan salah satu pelanggan lamanya yang ingin juga membuka usaha, yaitu warung nasi tempe penyet.

Secara tidak langsung, dengan berdekatannya warung – warung tadi akan membentuk sebuah hubungan timbal – balik atau simbiosis. Hubungan seperti ini bisa kita katakana sebagi simbiosis mutualisme yang mana merupakan sebuah hubungan yang saling menguntungkan. Ketika pelanggan yang hendak mencari dan membeli nasi goreng, bakso, soto atau nasi tempe penyet, maka warung giras akan menyediakan minuman segar aneka rasa.

Muchid mungkin bisa dikatakan sebagai pengusaha yang dengan tegas menerapkan sistem perekonomian yang berlandaskan kekeluargaan. Muchid sendiri begitu anti dengan sistem kapitalis yang semakin menjadikan individualisme semakin terlihat tajam. Pria yang dulu sempat meneteskan air mata takkala rombong warungnya digusur oleh Satpol PP ini menyadari betapa tidak mengenakkannya bila perekonomian itu tak terjalani dengan nafas kekeluargaan yang penuh dengan hamburan kepedulian terhadap sesama. Dalam praktiknya, Muchid dan karyawan – karyawannya begitu menaruh kepercayaan terhadap orang – orang disekitarnya. Tak peduli dia pelanggan baru atau lama. Sehingga sangat jarang mereka untuk menghitung detail jumlah barang dagangan yang dititipkan oleh orang – orang sekitarnya, Muchid dan karyawan – karyawannya sangat percaya bahwa mereka adalah orang – orang yang dapat dipercaya.

Warung giras binaan Muchid ini adalah bukti kesuksesan usaha masyarakat kelas bawah yang sering kali dipandang sebelah mata. Manajemen yang berlandaskan kekeluargaan ini sudah dibuktikan keampuhannya oleh Muchid yang kini berpenghasilan sekitar Rp. 21.000.000 per – bulan dari usaha warung giras. Kehidupan warung giras yang 24 jam non – stop kemudian dikombinasikan dengan sistem manajemen berasaskan kekeluargaan, maka bukan hal yang mustahil usaha warung giras yang identik dengan lingkungan kumuh ini akan senantiasa berkembang dan bertahan. Bukan juga hal yang tidak mungkin jika dalam waktu dekat, usaha warung giras akan dilirik banyak investor. Bagi warung – warung kopi atau para pengusaha muda maupun tua, tirulah ketulusan Cak Muchid!.  Warung giras is never dies!